JAKARTA, KOMPAS — Surplus neraca pembayaran menjadi fokus kebijakan Bank Indonesia pada semester I-2019. Salah satunya, dengan mempertahankan suku bunga acuan BI pada 6 persen.
Pada 2018, neraca pembayaran defisit 7,131 miliar dollar AS. Defisit neraca pembayaran itu akibat defisit transaksi berjalan 31,06 miliar dollar AS tidak bisa ditutup surplus transaksi modal dan finansial.
Neraca pembayaran Indonesia 2017 surplus 11,586 miliar dollar AS dan pada 2016 surplus 12,089 miliar dollar AS.
Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan, kebijakan moneter harus merangsang neraca modal tetap surplus agar neraca pembayaran terjaga. Pada saat bersamaan, perlu upaya untuk menahan defisit transaksi berjalan agar tidak melebihi batas 2,5 persen produk domestik bruto (PDB).
”Neraca pembayaran adalah penjumlahan neraca modal dan neraca transaksi berjalan. Derasnya aliran modal asing, khususnya dalam portofolio, perlu dipertahankan agar neraca modal tetap surplus,” kata Perry di Jakarta, Kamis (21/3/2019).
Neraca pembayaran yang surplus dapat menstimulasi stabilitas nilai tukar rupiah sehingga daya tahan ekonomi Indonesia semakin kuat menghadapi gejolak ekonomi global.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono menyampaikan, langkah BI mempertahankan suku bunga acuan memberi dukungan kepastian bagi pengusaha.
”Kondisi seperti ini membuat pelaku usaha lebih berani dalam memperkirakan bisnis,” kata Fajar.
Menurut Fajar, kepastian tersebut semakin mempertebal keyakinan atau optimisme pelaku usaha dalam memandang kondisi perekonomian Indonesia pada tahun ini.
”Pelaku usaha memang menunggu dan melihat Pemilu 2019. Namun, kami optimistis setelah tanggal 17 April, dunia usaha akan segera merespons, termasuk dalam merealisasikan investasi,” katanya.
Bank Sentral Amerika Serikat atau The Fed mempertahankan tingkat bunga acuan pada kisaran 2,25-2,5 persen untuk mendorong pertumbuhan lapangan pekerjaan dan menjaga stabilitas daya beli. Mengutip keterangan pers di laman The Fed, Gubernur Bank Sentral AS, Jerome Powell, bahkan mengisyaratkan tidak akan menaikkan suku bunga pada tahun ini akibat indikasi pelambatan pertumbuhan ekonomi di AS. Hal ini diperkirakan berdampak pada penurunan daya beli masyarakat AS.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, empat kali kenaikan suku bunga acuan The Fed pada 2018 menyebabkan arus modal keluar dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
”Keputusan The Fed memberi peringatan, tekanan akibat kenaikan suku bunga tahun lalu tidak akan terjadi lagi tahun ini,” kata Sri Mulyani seusai menghadiri rapat koordinasi nasional pengawasan pemerintah 2019 di Jakarta, Kamis.
Belum perlu
Chief Economist HSBC Global Research Regional ASEAN Joseph Incalcaterra berpendapat, saat ini pemangkasan suku bunga acuan BI belum diperlukan. Apalagi, The Fed juga menahan suku bunga. Jika BI memangkas suku bunga, selisih tingkat bunga kian menyempit. Padahal, saat ini Indonesia masih memerlukan investasi asing untuk menahan defisit transaksi berjalan. (DIM/CAS/KRN)