JAKARTA, KOMPAS – Sosok Ma’uf Amin sebagai Calon Wakil Presiden Nomor Urut 01 dan Sandiaga Uno sebagai Calon Wakil Presiden Nomor Urut 02 dalam Pemilihan Presiden 2019 cenderung belum menunjukkan daya pikat yang kuat dibandingkan kedua calon presiden. Hal ini dinilai sebagai salah satu imbas dari persaingan kedua calon presiden, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, pada Pemilu 2014 yang masih kuat hingga sekarang.
Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan, dari 2.000 responden di 34 provinsi, 71,9 persen di antaranya memilih peserta Pemilihan Presiden 2019 dikarenakan sosok capres. Adapun yang tertarik memilih karena sosok cawapres dinilai masih cukup rendah yakni sebesar 9,5 persen.
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga, Surabaya, Kacung Marijan mengatakan, ketatnya persaingan Calon Presiden Nomor Urut 01 Joko Widodo dan Calon Presiden Nomor Urut 02 Prabowo Subianto sejak Pemilihan Presiden 2014 masih menjadi magnet yang kuat di benak para pemilih. Hal itu berimbas pada minimnya ketertarikan kepada kedua cawapres.
“Di Indonesia, pengulangan dari Pemilu sebelumnya menjadikan sosok Prabowo dan Jokowi masih lebih kuat,” kata Marijan saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (22/3/2019).
Menurut Marijan, meski tanpa ada rivalitas sebelumnya, sosok capres tetap dinilai masih lebih kuat dibandingkan cawapres. Fenomena ini lumrah terjadi di banyak negara. Peran cawapres yang dianggap sebatas penopang capres juga disadari para pemilih pada Pemilu 2019.
“Di negara manapun, sosok capres dianggap lebih menentukan dan menarik perhatian pemilih dibandingkan cawapres,” katanya.
Marijan menambahkan, di sisa waktu kampanye, cawapres tetap punya peluang untuk lebih berkontribusi menarik perhatian para pemilih. Penguatan simpul-simpul dukungan di daerah menjadi harga mati bagi kedua cawapres.
Dukungan tersebut bisa berasal dari basis masing-masing pasangan calon ataupun pemilih yang belum menentukan pilihan. “Target suara harus ditentukan. Misalnya memperkuat dukungan dari basis masing-masing. Sudah bukan saatnya lagi kampanye digunakan untuk memperkenalkan sosok,” ungkapnya.
Belum loyal
Sementara itu, Sekretaris Program Doktor Ilmu Sosial Universitas Diponegoro, Semarang, yang juga Mantan Ketua Bawaslu RI, Nur Hidayat Sardini, mengidentifikasi pamor kedua cawapres lebih rinci. Sejauh ini, sosok Ma’ruf dinilai belum optimal menggaet suara pemilih yang belum loyal.
“Ma’ruf masih berkutat pada suara dari kalangan yang loyal pada pasangan Jokowi-Amin. Kebanyakan mereka berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP),” ungkap Hidayat.
Adapun Sandiaga, kata Nur, dinilai belum bisa memenuhi ekspektasi dari pemilih. Ia cenderung terjebak pada kisah sukses selama menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta. Sebagai cawapres yang memiliki demografi dekat dengan milenial, Sandiaga belum cukup eksploratif.
“Padahal yang dihadapi milenial adalah persoalan disrupsi. Jika itu bisa disasar akan bisa menambah magnet untuknya,” kata Hidayat.
Kedua cawapres dituntut untuk bisa menjawab kebutuhan masing-masing segmen pemilih di sisa waktu kampanye. Di basis milenial, misalnya, mereka adalah pemilih yang aspirasinya belum banyak terpenuhi oleh kedua cawapres. Hidayat meyakini, masih banyak milenial yang belum menentukan pilihan.
“Perebutan suara mereka amat ditentukan pada kampanye rapat umum dengan cara pintu ke pintu dan debat kandidat terakhir yang melahirkan diskusi problematik,” ujar Hidayat.