JAKARTA, KOMPAS — Pemilu serentak menjadi sorotan dunia internasional terkait dengan kemampuan Indonesia melaksanakan konsolidasi politik dengan demokratis dan berintegritas dalam rangka memilih pemimpin nasional. Sukses atau tidaknya perhelatan demokrasi ini sangat tergantung dari semua pihak yang terlibat secara langsung ataupun tidak langsung.
Hal tersebut dikatakan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto ketika memimpin apel kesiapan TNI-Polri dan komponen bangsa lainnya dalam rangka pengamanan Pemilu Serentak 2019 di Landasan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat (22/3/2019).
Apel gabungan dihadiri Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, 100.000 prajurit TNI-Polri, linmas, ormas, dan lainnya.
Menurut Wiranto, penyelenggara pemilu, yaitu KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum wajib menunjukkan kinerja yang obyektif dan transparan.
”Dalam pelaksanaan pemilu, sedapat mungkin opini kita semua diarahkan bahwa ajang ini bukanlah untuk membenturkan satu pihak dengan pihak yang lain atau ajang konflik antara kubu yang satu dan kubu yang lain. Sejatinya, pemilu serentak untuk memilih pemimpin dan bukan mengadu pemimpin. Momen ini harus menjadi ajang unjuk kompetensi, program, dan kapabilitas untuk mendapatkan kepercayaan rakyat yang akan memilih pemimpin nasional,” ucap Wiranto.
Wiranto menyebutkan, muncul berbagai kerawanan, seperti menyebarnya berita bohong atau hoaks dan meningkatnya politik identitas di samping kerawanan-kerawanan lainnya. Berita-berita bohong tersebut paling banyak disampaikan melalui media sosial. Berita bohong memiliki tujuan politis sebagai alat untuk menyingkirkan lawan politik sehingga membuat demokrasi menjadi tidak sehat serta merusak persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Demikian juga dengan menguatnya politik identitas menggunakan isu-isu SARA sebagai salah satu strategi bagi pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab untuk memenangi pemilu. Dampaknya, terjadi disintegrasi bangsa dan hilangnya rasionalitas dalam menentukan pilihan politik.
Menurut Wiranto, penyebaran berita bohong dan menguatnya politik identitas merupakan bentuk lain dari teror kepada masyarakat karena memengaruhi kondisi psikologis. Kepada para pelakunya harus diambil langkah hukum yang tegas.
Kerawanan
Penyelenggaraan pemilu serentak masih mendapat ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan. Bawaslu dan Polri telah mengeluarkan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) sebagai pemetaan terhadap kerawanan-kerawanan yang diprediksi akan timbul dalam penyelenggaraan pemilu di setiap daerah.
Pemetaan kerawanan itu meliputi sisi penyelenggaraan dan sisi keamanan serta ketertiban masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi semua pemangku kepentingan untuk segera mengenali, menemukan, dan menetralisasi serta mengatasi hambatan-hambatan tersebut.
”TNI-Polri selaku institusi yang bertanggung jawab langsung terhadap pengamanan jalannya pemilu, apabila menemukan adanya kerawanan dan hambatan, harus dapat mengambil suatu tindakan tegas sesuai dengan prosedur tetap dan aturan hukum yang berlaku sehingga tidak ada toleransi sekecil apa pun bagi pihak-pihak yang akan mengganggu jalannya pemilu,” katanya.
Ada 272 kabupaten/kota (52,9 persen) daerah tergolong rawan tinggi pada tahapan pemungutan dan penghitungan suara. Sementara sisanya tergolong rawan sedang berdasarkan IKP 2019.
Kerawanan tahapan pemungutan dan penghitungan suara merupakan akumulasi pengukuran subdimensi hak pilih, pelaksanaan pemungutan suara, partisipasi pemilih, dan partisipasi publik.
Di urutan kedua, tahapan sengketa di 251 daerah (48,8 persen), pemutakhiran data pemilih (43,6 persen), kampanye (24,7 persen), dan distribusi logistik (5,4 persen).
”Untuk memastikan penyelenggaraan pemilu berjalan aman, diperlukan pula dukungan dari pihak-pihak yang berkontestasi pada Pemilu 2019. Peserta pemilu dapat berkampanye dengan santun. Selain itu, jika ada perselisihan, diharapkan diselesaikan melalui jalur yang telah disediakan oleh undang-undang,” ucap Kapolri Tito Karnavian.
Dalam melaksanakan tugas pengamanan penyelenggaraan pemilu, semua prajurit TNI-Polri yang terlibat wajib mengikuti semua prosedur tetap yang berlaku sehingga tindakan-tindakan yang dilakukan senantiasa terukur sesuai dengan aturan hukum.
Wiranto menekankan, semua prajurit TNI-Polri di mana pun bertugas harus mampu untuk mendewasakan masyarakat dalam berdemokrasi sehingga tidak mudah terprovokasi dengan isu-isu, berita bohong, dan hoaks yang beredar serta menimbulkan keresahan.
”Inventarisasi dan berkoordinasi dengan tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda, serta tokoh masyarakat untuk memberikan rasa tenang kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat menggunakan hak pilihnya dengan aman,” kata Wiranto. (FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY)