Cegah Sindrom Metabolik pada Remaja dengan Olahraga Lari
Oleh
Hamzirwan Hamid
·4 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Peningkatan hormon pada masa pubertas membuat remaja rentan terkena sindrom metabolik. Kondisi itu semakin berisiko apabila disertai gaya hidup tidak sehat, seperti kurangnya aktivitas fisik. Olahraga lari dinilai paling efektif dalam menghindari risiko terkena sindrom metabolik.
Medical Expert Combiphar, Sandi Perutama Gani, di Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (23/3/2019), mengatakan, meningkatnya hormon pada masa pubertas memperlambat metabolisme tubuh pada remaja. Akibatnya, kemampuan tubuh untuk membakar kalori lebih rendah. Remaja usia 15 tahun, misalnya, kemampuan membakar kalorinya lebih rendah 400-500 kalori dibandingkan pada usia 10 tahun.
Sementara itu, nafsu makan remaja cenderung meningkat pada masa pubertas. Jika tidak diimbangi dengan aktivitas fisik dan pola makan sehat, akan terjadi kelebihan kalori di dalam tubuh.
”Kalau kelebihan kalori itu tidak dibakar, dia akan memicu kelebihan berat badan ataupun obesitas. Di sinilah muncul sindrom metabolik,” kata Sandi dalam lokakarya yang diadakan Combiphar.
Sindrom metabolik adalah kumpulan faktor risiko kesehatan yang berpotensi menyebabkan kematian. Faktor risiko itu antara lain peningkatan tekanan darah, kadar gula tinggi, lemak berlebih di sekitar pinggang, rendahnya HDL atau kolesterol ”baik”, dan trigliserida tinggi.
Seseorang dikatakan terkena sindrom metabolik jika mengalami setidaknya tiga faktor risiko itu. Sindrom metabolik berbahaya karena dapat memicu penyakit stroke, jantung, dan diabetes.
Gaya hidup
Sandi memaparkan, ada tiga faktor pemicu seseorang mengalami sindrom metabolik, yaitu gaya hidup, genetik atau penyakit tertentu, dan memasuki usia lanjut. Faktor gaya hidup meliputi kurang olahraga, pola makan tidak sehat, kurang istirahat, kebiasaan merokok, dan mengonsumsi alkohol berlebihan. Dari tiga faktor itu, gaya hidup menjadi paling memungkinkan diubah untuk hidup lebih sehat.
Namun, berdasarkan data, gaya hidup masyarakat Indonesia tidak sehat sehingga memicu tingginya prevalensi sindrom metabolik. Menurut Sandi, prevalensi sindrom metabolik di Indonesia mencapai 23 persen.
Riset yang dilakukan YouGov pada 2015 menyebutkan, Indonesia sebagai negara yang masyarakatnya paling gemar mengonsumsi camilan di kawasan Asia Pasifik. Di sisi lain, hasil riset para peneliti Universitas Stanford menyebutkan, masyarakat Indonesia paling malas berjalan kaki di dunia.
Sandi menambahkan, beberapa tahun belakangan terjadi pergeseran tren pengidap sindrom metabolik dari orang lanjut usia ke kalangan muda. Kondisi itu dipicu oleh gaya hidup yang semakin tidak sehat. Jika dulu sindrom metabolik menjadi tren kalangan usia 60-an tahun, sekarang kondisi ini mudah ditemukan pada kalangan usia 20-an tahun. Adapun prevalensinya untuk usia 20-an tahun mencapai 24 persen.
”Kondisi itu mengkhawatirkan karena kalangan muda akan menjadi generasi penopang negara. Kalau pada usia 20 tahun sudah mempunyai sindrom metabolik, bayangkan apa yang terjadi ketika pada usia 60-an tahun,” kata Sandi.
Olahraga lari
Sandi melanjutkan, selain menjaga pola makan sehat, olahraga penting untuk mencegah ataupun mengobati sindrom metabolik. Setidaknya, seseorang mesti beraktivitas fisik, seperti jalan cepat dan lari selama 30 menit.
Olahraga lari direkomendasikan untuk mengatasi persoalan itu. Olahraga lari mudah dilakukan oleh siapa pun dan kapan pun serta bermanfaat mengurangi resiko obesitas, membantu tidur lebih nyenyak, serta menjaga kesehatan tulang, sendi, jantung, dan paru-paru.
”Olahraga lari juga membantu meningkatkan fokus dan membangun ketahanan fisik untuk olahraga yang lebih berat,” ujar Sandi.
Model Agustin Ramli mengaku, dia menjadikan olahraga lari, selain yoga dan renang, untuk menjaga daya tahan tubuhnya di tengah rutinitasnya yang sibuk. Agustin mulai aktif menjalani olahraga lari sejak awal tahun.
”Kalau tidak ada olahraga kardio (salah satunya lari), jalan lemas dan napas pendek. Olahraga lari membuat saya lebih bahagia dan fit di tengah jadwal shooting yang padat. Kata teman-teman, saya juga lebih langsing,” kata Agustin yang juga Duta Combiphar.
Salah satu peserta Combi Run Academy, program pelatihan intensif olahraga lari yang diadakan Combiphar, M Daffa Zakariyal (16), mengaku, daya tahan tubuhnya meningkat sejak menekuni olahraga lari dengan teknik yang benar. Dia menjadi tidak gampang lelah ketika bermain futsal, olahraga yang digemarinya.
”Kalau dulu, baru main (futsal) beberapa menit sudah capek. Sekarang, daya tahan tubuh lebih bagus,” kata Daffa yang juga siswa jurusan kerangka mesin pesawat terbang SMK 29 Jakarta.
Pendiri komunitas lari IndoRunners, Yasha Chatab, yang juga Program Director Combi Run Academy, mengatakan, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan oleh pelari pemula. Hal-hal itu antara lain menggunakan sepatu lari, pakaian yang menyerap keringat, serta teknik pemanasan, lari, dan pendinginan. (YOLA SASTRA)