Kemanusiaan dan Kesetiaan Anjing
Judul: Lolong Anjing di Bulan
Penulis: Arafat Nur
Penerbit: Sanata Dharma University Press
Cetakan: I, 2018
Tebal: 260 halaman
ISBN: 978-602-5607-43-1
Kekejian, balas dendam, mayat berserakan, dan anyir darah biasanya mewarnai novel berlatar belakang perang. Tidak demikian dengan Lolong Anjing di Bulan karya terbaru Arafat Nur.
Ditulis oleh penerima sejumlah penghargaan sastra, novel ini memberi sinyal sejak awal: kesia-siaan perang. Penulis novel Tanah Surga Merah yang memenangi Sayembara Novel DKJ 2016 ini kembali membabar konflik bersenjata antara pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada periode 1976-2005.
Alue Rambe, kampung terpencil di pegunungan Aceh Utara selatan Kota Lhokseumawe menjadi latar Lolong Anjing di Bulan—bagian Tanah Air yang kaya sumber alam tetapi tidak dinikmati penduduknya. Rumah-rumah ditumbuhi pohon rambutan, jambu air, dan mangga yang berbuah lebat; terhampar luas ladang kunyit, kebun kelapa, sawah, dan padi gunungnya.
Menuju wilayah kota berdiri pabrik-pabrik pupuk, kertas, dan minyak wangi. Jalan-jalan aspal sumbangan perusahaan gas Amerika disediakan untuk truk dan kendaraan berat milik perusahaan.
Bekerja sama dengan pengusaha swasta, penguasa, dan tentara, perusahaan-perusahaan multinasional mengeksploitasi alam Aceh. Pipa-pipa pengolah terlihat kontras dengan petani bersahaja yang menuai dan menjual hasil pertanian sebelum tentara merampasnya.
Musabab perang
Nasir, si pencerita, masih duduk di SMP ketika merawi ketakutan penduduk pada tentara yang mulai berkeliaran. Mereka menyusupi semua kampung mencari orang-orang yang dicurigai sebagai pemberontak sejak dua serdadu terbunuh.
Kehidupan Nasir, orangtua, dan kakak-adik perempuannya digambarkan secara alamiah, dilengkapi celoteh, rintihan, dan sesekali candaan antarmereka. Namun, gelak tawa kian menghilang ditelan hantu keresahan sejak seorang warga tewas di tangan laki-laki berseragam loreng.
Diduga terlibat dengan pasukan pembangkang, ayah Nasir disiksa di depan keluarganya. Kakeknya dibunuh, disusul Nenek yang merana. Nasir mulai membenci perang: ”Orang-orang yang tak tega menghardik kucing yang mencuri ikan tiba-tiba terbukti sanggup membunuh manusia” (hlm 33).
Anjing setia
Dalam novel 28 bab ini, orang Aceh yang berkawan dengan anjing bukan hal aneh. Nono, seekor anjing hutan, membantu Ayah menghalau pencuri di dangau. Nonolah yang menemukan jasad tuannya tersangkut di sungai dengan wajah remuk dan tujuh peluru bersarang di badannya.
Nono enggan makan; berhari-hari bersimpuh di kuburan Ayah. Tercipta dari ludah iblis, demikian Nasir meyakini Alkitabnya, kesetiaan anjing melebihi manusia. ”Aku juga yakin”, ujarnya, ”kelak Nono masuk surga bersama ayah” (hlm 131).
Arafat Nur taat dan telaten pada detail, tetapi deskripsi sadisme yang berlebihan tidak ditemukan. Kezaliman tentara pemerintah maupun pemberontak dinarasikannya untuk menyentuh nurani sesama anak bangsa. Meski agak antroposentris, pemerian tentang panen di kebun Kakek mencerminkan makna kehidupan. Setiap tiga bulan tauke pisang membawa pekerjanya mencari sendiri tandan pisang yang siap dipanen.
Alam ramah kepada manusia jika diperlakukan baik, seperti kebun Kakek yang terawat dan terbukti menghidupi keluarga. Di kebun pisang ini Nasir kecil belajar arti kata ”melawan”. Diliputi rasa takut, bocah berusia 13 tahun itu mengintip sekawanan tentara mengobrak-abrik kebun.
Gagal menemukan pemberontak yang dicari, mereka pun berlalu sambil membawa setandan pisang ranum. Saat itulah Nasir mafhum mengapa orang-orang Aceh berani melawan serdadu. Perang timbul dari gairah untuk melawan, melebihi rasa takut.
Novel ini rekonsiliatif. Kebencian rakyat pada tentara digambarkan berimbang dengan kegusaran serdadu pada pemberontak. Dilukiskan pula bencana yang menimpa ketika anggota keluarga terlibat dengan pasukan pejuang. Nasir menyaksikan orang-orang terkasih terenggut dari kehidupannya gara-gara pamannya, Arkam, bergabung dengan GAM.
Sewaktu Arkam menghilang, tentara menghabisi siapa pun yang disangka pembangkang. Nasir merindukan kehidupan Alue Rambe yang tenang dan damai. Ia akhirnya memutuskan untuk angkat senjata guna menyudahi budaya kematian.
Perang adalah selebrasi budaya kematian. Perang memungkiri kehidupan sebagai anugerah Tuhan. Tidak ada bendera yang cukup lebar untuk menutupi rasa malu membunuh orang tak bersalah, kata sejarawan Amerika, Howard Zinn. Tidak juga secarik kain merah bergambar bulan bintang yang dikibarkan Arkam pada pembukaan Lolong Anjing di Bulan.
Selain menghibur, novel ini menambah alur sejarah. Lolong anjing membangunkan memori perjuangan rakyat Aceh yang berpuluh-puluh tahun terkubur oleh kekuasaan. Kiranya tidak terulang pada rakyat Papua sekarang.
Sejak 2008, konflik antara KKB dan TNI telah menewaskan 79 warga sipil (Kompas, 11 November 2018). Sekadar catatan paratekstual, ketiga peta wilayah yang diselipkan di halaman depan terasa mengganggu karena membatasi imajinasi pembaca yang seharusnya dibiarkan meruak.
Secara alegoris novel ini memang kurang mewah karena dirajut dengan nama-nama tokoh dan peristiwa sejarah nyata. Namun pesannya jelas: perang membuat manusia kehilangan kemanusiaannya dan raungan makhluk bernama anjing menjadi pertanda khilaf ini. Lolong Anjing di Bulan diterjemahkan oleh Maya Denisa Saputra, Blood Moon over Aceh (Dalang Publishing, 2018).
NOVITA DEWI Dosen Program Magister Kajian Bahasa Inggris, Universitas Sanata Dharma