Indonesia terus meningkatkan peran di Pasifik Selatan. Ekonomi, kemaritiman, dan lingkungan hidup menjadi andalan Jakarta mendekati penduduk yang tersebar di Samudra Pasifik itu.
Apabila Australia dan Selandia Baru dikecualikan, gabungan produk domestik bruto negara-negara Pasifik Selatan, seperti Tuvalu, Vanuatu, Kepulauan Marshall, Fiji, dan Kepulauan Solomon, pada 2017 hanya 30 miliar dollar AS. Penduduknya hanya 10,6 juta jiwa dengan 8,2 juta jiwa di Papua Niugini dan 2,4 juta lain tersebar di 11 negara dan 2 wilayah protektorat.
Dengan kata lain, PDB Pasifik Selatan, di luar Australia dan Selandia Baru, setara 3 persen PDB Indonesia yang pada 2017 bernilai 1,016 triliun dollar AS. Gabungan jumlah penduduknya hampir sama dengan penduduk DKI Jakarta.
Meskipun demikian, kawasan yang terletak di timur Indonesia itu terus dirangkul. Indonesia sampai menyelenggarakan Forum Indonesia-Pasifik Selatan (ISPF) pada 21 Maret 2019. Sebelum ISPF, sudah ada Forum Kepulauan Pasifik (PIF) dan Kelompok Pelopor Melanesia (MSG) sebagai wahana komunikasi dan kerja sama di kawasan itu. Indonesia menjadi anggota pemantau di MSG sejak 2011 dan tidak menjadi anggota PIF. Lewat ISPF, Indonesia menciptakan forum kerja sama baru di kawasan. Selain ISPF, Indonesia juga akan ikut terlibat dalam Pacific Exposition di Auckland pada Juli 2019. Perwakilan pengusaha dan kelompok budaya Indonesia disiapkan hadir dalam kegiatan itu.
Di sela ISPF, Indonesia mengundang sejumlah pengusaha di kawasan itu untuk ikut pelatihan pada 18-22 Maret 2019 di Jakarta. Tidak hanya pelatihan, Indonesia juga menawarkan fasilitas pembiayaan bagi pengusaha Pasifik Selatan yang akan berbisnis dengan Indonesia. Fasilitas itu juga disiapkan untuk proyek infrastruktur di kawasan Pasifik Selatan.
Senasib
”Orang Indonesia dan Pasifik Selatan bersaudara. Kita menyebut Pasifik Selatan rumah kita dan kerja sama pembangunan Pasifik Selatan akan menentukan masa depan yang kita ingin bentuk bersama untuk generasi penerus,” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
Ia menekankan prinsip saling menghormati, saling menguntungkan, inklusif, dan menyeluruh dalam kerja sama di kawasan itu. Ia juga menyebut Indonesia dan mitra di Pasifik Selatan punya masalah sama. Sebagaimana negara-negara di Pasifik Selatan, Indonesia juga menghadapi ancaman kenaikan permukaan laut.
Sebagai sesama negara kepulauan, Indonesia dan Pasifik Selatan akan terdampak perubahan iklim dan kenaikan permukaan laut. Perikanan lestari juga menjadi perhatian. ”Tuna tidak punya kebangsaan, mereka bergerak di lautan bebas. Untuk melestarikannya, butuh kerja sama lintas negara,” kata Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika pada Kemlu RI Desra Percaya.
Tuna adalah sumber pangan dan pendapatan signifikan bagi negara-negara Pasifik. Kenaikan suhu laut bisa membuat tuna lari. Penangkapan yang tidak menerapkan prinsip kelestarian juga membuatnya cepat habis.
Suara global
Skala ekonomi Pasifik Selatan relatif kecil. Akan tetapi, kawasan itu harus tetap dipandang sebagai peluang pasar baru dan karena itu harus didekati. Selain itu, peran dan suara Pasifik Selatan di pentas global juga terus meningkat. Pada masa lalu, sebagian suara itu cenderung negatif kepada Indonesia. Kini, suaranya relatif ramah kepada Indonesia. Bahkan, semakin kerap mendukung Jakarta.
Pendekatan tanpa henti, setidaknya sejak 2011, menjadi salah satu faktornya. Indonesia terus menawarkan kerja sama dan bantuan kepada mitra di Pasifik Selatan. Bentuk bantuan beragam.
Kepada Tuvalu, ada pelatihan keprotokolan serta kemampuan penyelenggaraan pertemuan dan pameran. Pelatihan sejenis diberikan Indonesia kepada mitra di Pasifik Selatan lain yang akan menggelar pertemuan atau pameran.
Diplomasi ekonomi dan kebudayaan di Pasifik Selatan dijalankan Indonesia dalam berbagai bentuk. Retno meyakini, terlepas dari fakta volume perdagangan total baru menyentuh 450 juta dollar AS, banyak peluang akan terbuka dari kerja sama dengan Pasifik Selatan.
”Sebagai keluarga, kita harus mengatasi hambatan ini untuk kesejahteraan bersama,” kata Retno. (RAZ)