Nilam Mulai Angkat Ekonomi Kelompok Tani di Lombok Timur
Oleh
KHAERUL ANWAR
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Petani di Desa Timbanuh, Kecamatan Pringgasela, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, mulai merasakan manfaat ekonomi bertanam nilam (Pogostemon cablin Benth), satu setengah tahun terakhir. Petani tergerak menanam nilam setelah sebuah perusahaan memberi bantuan bibit gratis, melakukan pelatihan tanam, dan menampung hasil panen petani.
”Kami baru menanam nilam satu setengah tahun ini. Pada panen pertama, kami mendapatkan hasil penjualan Rp 30 juta,” ujar Khairil Anwar, Ketua Kelompok Tani Nilam, Desa Timbanuh, di Mataram, Lombok, Sabtu (23/3/2019). Sedikitnya 1 juta bibit nilam ditanam oleh 90 anggota kelompok pada awal 2018. Penanaman dilakukan di lahan kurang produktif. Nilam juga menjadi tanaman sela tanaman lain, seperti avokad, durian, dan kopi.
Khairil mengaku, dirinya bercocok tanam nilam di areal 2,5 hektar milik orangtuanya, dengan jumlah bibit 10.000 batang per hektar. Dari total areal itu, ia baru memanen nilam basah sebanyak 6 ton dari areal seluas 60 are atau 6.000 meter persegi. Setelah dikeringkan, nilam itu dijual Rp 5.000 per kilogram. Ia mendapatkan Rp 30 juta dari hasil penjualan itu. ”Tiga bulan lagi, saya panen kedua,” ujar Khairil.
Nilam ditanam di atas bedeng, dipupuk dengan pupuk organik yang didapat dari kotoran hewan peliharaan warga, seperti sapi. Dalam setahun, tanaman nilam dipanen tiga kali, yaitu pada tujuh bulan sejak ditanam, kemudian berjarak masing-masing tiga bulan untuk panen kedua dan ketiga.
Nilam adalah penghasil minyak sejenis minyak atsiri yang aromanya ”kuat” dan ”berat”, yang digunakan sebagai bahan baku parfum (wewangian), sabun, kosmetik, dan bahan dupa (setanggi).
Dari hasil penjualan nilam, anggota kelompok rata-rata bisa membangun rumah, beli sepeda motor, dan membiayai sekolah anak-anaknya. (Sayyid Abdullah)
Sayyid Abdullah dari CV Galih Tulen, penampung produk nilam petani, mengatakan, nilam basah dibelinya Rp 1.500 per kg dan nilam kering Rp 5.000 per kg. Nilam dibeli langsung dari tangan petani tanpa melalui pedagang perantara. Dari hasil penjualan nilam, anggota kelompok rata-rata bisa membangun rumah, membeli sepeda motor, dan membiayai sekolah anak-anaknya.
Ketika masa panen, ia bisa menampung 48 ton nilam sebulan. Nilam kemudian disuling dengan mesin yang sudah tersedia di Desa Timbanuh. Mesin penyulingan berkapasitas produksi 20 ton diadakan PT Galih Jaya Jakarta, mitra Kelompok Tani Nilam.
Bergairah
Halim dari PT Galih Jaya mengatakan, kapasitas produksi bahan baku di Desa Timbanuh, termasuk di Desa Gunung Sari, Lombok Barat, masih jauh dibandingkan dengan kebutuhan minyak nilam dalam negeri yang mencapai 100 ton per tahun. Dari sentra produksi di dua daerah itu, baru terpenuhi sekitar 5 ton minyak nilam.
Prospek penanaman nilam cukup cerah karena pada 2019 harga minyak nilam dalam negeri mencapai Rp 600.000 per kg. Angka itu naik dari Rp 300.000 per kg pada 2018.
Tahun 2019, harga minyak nilam dalam negeri mencapai Rp 600.000 per kg. Angka itu naik dari Rp 300.000 per kg pada 2018. (Halim)
Saat ini Indonesia masih menjadi pemasok utama minyak nilam dunia. Seiring berkembangnya kebutuhan minyak atsiri dunia, peluang ekonomi penanaman minyak nilam semakin terbuka lebar.
Apalagi kebutuhan produk turunan hilir pengguna minyak atsiri dalam negeri juga berkembang pesat. Kondisi ini berimbas pada gairah petani untuk mengembangkan tanaman yang menghasilkan minyak atsiri.
Adapun negara pengimpor minyak atsiri, lanjut Halim, antara lain Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, Hong Kong, Mesir, dan Arab Saudi. ”Saat ini, kami sedang berusaha bekerja sama dengan sebuah perusahaan di Swiss yang bersedia menampung produk kami,” kata Halim.