JAKARTA, KOMPAS — Rapat Akbar Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Sabtu (23/3/2019), di Jakarta, mendorong agar negara memberikan perhatian kepada masyarakat kecil yang termarjinalkan akibat tercerabut hak ulayat dan sumberdaya alamnya. Mereka menuntut negara bertanggung-jawab untuk menghentikan kerakusan eksploitasi sumber daya alam demi memikirkan generasi mendatang.
Rapat Akbar Konsolidasi Politik Gerakan Lingkungan Hidup Indonesia ini diisi dengan orasi serta penyampaian pandangan dan pemikiran. Hall basket Gelora Bung Karno di Senayan Jakarta yang berkapasitas 3.000 orang ini penuh sesak dengan warga, aktivis, dan perwakilan komunitas masyarakat dari berbagai daerah.
Mereka mendorong momen pesta politik pemilihan umum presiden, wakil presiden, anggota DPD, dan anggota legislatif diributkan untuk memperbincangkan penguatan wilayah kelola rakyat. Hasil pesta politik itu pun agar membawa amanah dalam penyelesaian berbagai permasalahan sistematis yang dialami komunitas masyarakat.
Mereka mendorong momen pesta politik pemilihan umum presiden, wakil presiden, anggota DPD, dan anggota legislatif diributkan untuk memperbincangkan penguatan wilayah kelola rakyat.
“Walhi prihatin bahwa kontestasi politik telah menjebak rakyat indonesia pada politik identitas yang tajam dan merusak jalinan pesaudaraan kita sebagai warga bangsa. Rapat Akbar ini diselenggarakan sebagai upaya kita semua membincangkan substansial,” orasi Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Sabtu.
Walhi mempertemukan komunitas-komunitas masyarakat dari Papua hingga Sumatera untuk saling berbagi terkait kasus yang menimpa masing-masing. Mereka saling memberi semangat dan pengalaman serta mengambil sikap politik yang mendorong perbaikan kebijakan ekonomi.
Krisis lingkungan
Organisasi lingkungan hidup pertama dan tertua di Indonesia itu mengkhawatirkan krisis lingkungan hidup sebagai akibat dari pilihan kebijakan ekonomi dan pembangunan yang menempatkan sumber daya alam sebagai onggokan komoditas. Pengabaian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup serta keberadaan masyarakat adat atau lokal menciptakan kerusakan lingkungan dan struktur ekonomi-sosial masyarakat tersebut.
Akumulasi pengerukan kekayaan alam dan pengisapan tenaga-tenaga rakyat telah menyebabkan terjadinya berbagai krisis yang sulit dipulihkan. Krisis-krisis ini pada gilirannya telah mengancam kelangsungan sumber-sumber kehidupan rakyat dan mengakibatkan bencana ekologis di seluruh penjuru nusantara. Bahkan lebih jauh, penghancuran alam juga mengakibatkan tercerabutnya identitas dan kebudayaan akibat hilangnya ruang hidup masyarakat, khususnya masyarakat adat yang sangat dekat dengan alam.
“Rapat Akbar ini mengingatkan partai politik untuk tidak asyik dengan dirinya sendiri. Bila anda berniat untuk menerima amanah dan menjadi wakil rakyat, anda bisa menoleh kepada masyarakat seperti yang ada di sini ini,” kata Nur Hidayati yang disambut tempik sorak peserta rapat akbar.
Rapat Akbar ini mengingatkan partai politik untuk tidak asyik dengan dirinya sendiri.
Nsmun yang terjadi selama ini, politikus malah terkesan tutup mata pada berbagai praktik kekerasan dan kriminalisasi yang dialami masyarakat yang sedang memperjuangkan ruang kelola dan sumber daya alamnya. Seharusnya sebagai seorang politisi, inisiatif maupun warisan ruang kelola kekayaan alam dengan berbagai pengetahuan dan kearifan lokal ini bisa diperjuangkan untuk mendapatkan pengakuan negara.
Hingga kini pun masyarakat masih terus berjibaku untuk meyakinkan negara, bahwa rakyat memiliki pengetahuan dan kapasitas dalam pengelolaan kekayaan alamnya melalui wilayah kelolanya. Wilayah Kelola Rakyat bukan hanya menjawab problem kemiskinan struktural, mengatasi ketimpangan penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber agraria juga menjadi benteng pertahananan untuk memproteksi wilayah hidup masyarakat dari ancaman industri ekstraktif seperti sawit, hutan tanaman industri, tambang, dan pembangunan infrastruktur skala besar.
Christin Gasper, dari LP3BH Manokwari Papua Barat, menyatakan perampasan tanah ulayat di Papua kian menyakiti masyarakat adat. “Orang Papua menyebut tanah adalah mama, tapi kini investor datang babat tanah, babat hutan, babat gunung. Kami miskin di atas tanah kami yang kaya,” kata dia.
Ia menyebutkan berbagai kasus lingkungan perusahaan tambang hingga pembukaan lahan dengan dalih pertanian Merauke Integrated Food and Energy Estate yang menyisakan berbagai persoalan. Ia mendesak pemerintah bertanggungjawab dan menghentikan penyelesaian secara milisteristik yang malah kian menyakiti masyarakat.
Berbagai kasus lingkungan perusahaan tambang hingga pembukaan lahan dengan dalih pertanian Merauke Integrated Food and Energy Estate yang menyisakan berbagai persoalan.
Dalam momen itu, Walhi memperkenalkan dua calon anggota DPD yang merupakan kader Walhi, yaitu Barlian calon anggota DPD Bengkulu dan Sarah Lery Mboeik, calon anggota DPD NTT. “Perjuangkan kenyamanan rakyat hidup di desa. Bukan desa ada dalam (izin) hak guna usaha, tetapi HGU lah yang ada di desa,” kata dia.
Artinya, HGU yang umumnya berupa perkebunan itu datang dan menggusur wilayah pertanian masyarakat. Bukan masyarakat yang menyerobot area HGU seperti cap dan tudingan umum saat ini.