Penantian selama puluhan tahun akhirnya terbayar jua. Mulai Maret 2019, warga Indonesia mulai merasakan laju kereta moda raya terpadu (MRT). Jutaan pasang mata terus mengikuti jejak pembangunan MRT sejak tahun 2013.
Pengkajian dan perancangan MRT dilakukan sejak 1982. Moda transportasi ini sempat diproyeksikan beroperasi pada 1997. Namun rencana itu berulang kali mundur hingga enam tahun silam.
Pembangunan MRT rute Lebak Bulus-Bundaran Hotel Indonesia ini memang menarik, antara lain karena pembangunan pertama kereta perkotaan berjalur khusus yang tidak terganggu perjalanan kereta lain semisal kereta luar kota atau kereta barang.
Tidak hanya itu. Sebagian jalur MRT yakni dari Senayan hingga Bundaran Hotel Indonesia, berada di bawah tanah. Ini merupakan pertama kali di Indonesia.
Perhatian masyarakat pun tak lepas selama persiapan pengeboran hingga empat mesin bor bawah tanah mulai bekerja untuk membangun dua jalur kereta api masing-masing dari dua sisi. Sejak 2015, mesin bor yang dinamai Antareja I dan II serta Musika Bumi I dan II mulai bekerja.
Selama pembangunan jalur MRT, rekayasa lalu lintas berulang kali dilakukan. Kemacetan pun tak terelakkan. Namun, masyarakat memakluminya dengan harapan akan ada perbaikan lalu lintas di Jakarta kelak.
Harapan dan pengorbanan masyarakat itu mulai bersambut dengan beroperasinya MRT. Tentu kita berharap, perjalanan MRT fase I ini menjadi awal dari berkembangnya transportasi massal di Jakarta dan kota besar sekitarnya, sekaligus terbentuknya sistem baru bertransportasi massal.
Aneka persoalan yang masih tersisa, baik terkait tarif kereta, integrasi antarmoda, serta perluasan layanan mesti segera dirampungkan demi pelayanan masyarakat yang lebih baik.