Sejak tahun 2015, pemerintah mengakselerasi pembangunan di kawasan perbatasan lewat Gerakan Pembangunan Terpadu Perbatasan. Masyarakat di daerah yang tersentuh program itu mulai merasakan hasilnya.
Langit mendung yang memayungi Pulau Morotai di Maluku Utara, awal pekan lalu, membuat suasana pulau itu teduh dan sejuk. Saat itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto didampingi Pelaksana Tugas Sekretaris Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) Suhajar Diantoro, Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba, dan Bupati Pulau Morotai Benny Laos mengunjungi Pasar Rakyat Terpadu Morotai Selatan.
Pembangunan pasar itu menggunakan dana program Gerakan Pembangunan Terpadu Perbatasan (Gerbangdutas). Kabupaten Pulau Morotai adalah satu dari 41 kabupaten/kota dari 13 provinsi yang berada di wilayah perbatasan Indonesia yang menerima pendanaan Gerbangdutas.
Khusus tahun 2019, Morotai menjadi proyek percontohan Gerbangdutas. Dari Rp 12,22 triliun alokasi anggaran Gerbangdutas 2019, Morotai mendapat anggaran Rp 778 miliar. Sejak 2015, Gerbangdutas digulirkan, BNPP menunjuk satu wilayah unggulan menjadi lokasi peresmian proyek itu setiap tahun.
Wiranto menuturkan, pemilihan Morotai sebagai wilayah pencanangan Gerbangdutas 2019 tidak lepas dari keseriusan pemerintah daerah untuk mengakselerasi pembangunan. Menurut Wiranto, hasil baik pelaksanaan Gerbangdutas di Morotai bisa menjadi contoh bagi pembangunan di kabupaten/kota lain yang juga menerima dana Gerbangdutas.
”Ada semangat (pembangunan) di Morotai yang menampilkan perencanaan, pelaksanaan, dan koordinasi yang baik antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat,” kata Wiranto.Suhajar menambahkan, meskipun anggaran dari pemerintah pusat, pembangunan menyesuaikan kebutuhan tiap daerah. Sebab, manfaat pembangunan itu untuk ke warga perbatasan.
Membawa perubahan
Morotai memiliki luas sekitar 2.330 kilometer persegi atau hampir empat kali luas Singapura. Menurut Benny, Morotai memiliki potensi ekonomi yang besar untuk terus dikembangkan karena jaraknya yang lebih dekat ke negara-negara di kawasan Asia Timur dibandingkan dengan akses dari Jakarta.
Melalui dana Gerbangdutas, Morotai mampu menghadirkan listrik sampai ke pelosok, memberikan bantuan pendidikan dan keagamaan, membangun kantor pemerintahan, serta membangun Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) di Morotai Selatan.
Ketua Koperasi Nelayan Taruna Selatan Morotai Nostenly Bungan mengungkapkan, kehadiran SKPT membuat nelayan bisa menyalurkan ikan tangkap secara langsung. Keseriusan pemerintah melindungi laut Indonesia, lanjut Nostenly, juga membantu nelayan Morotai menangkap ikan tuna lebih banyak di wilayah laut yang tidak terlalu jauh. Sebelumnya, nelayan harus melaut sekitar 10 mil (16 km) dari daratan, sedangkan kini mereka cukup melaut sekitar 3 mil (4,8 km) untuk menangkap tuna dengan hasil cukup baik.
Tahun 2015, Kompas berkesempatan menghadiri peresmian program Gerbangdutas di Pulau Sebatik, Kalimantan Utara. Ketika itu, akses darat sangat sulit dilalui kendaraan roda empat karena jalan berlumpur dan sejumlah jembatan penghubung rusak. Sinyal telekomunikasi pun sudah harus roaming alias hanya tersedia jaringan dari Malaysia.
Perubahan terasa ketika kembali Kompas mendatangi Sebatik dua tahun kemudian. Jalan-jalan telah beraspal. Lalu, jaringan telekomunikasi juga telah sepenuhnya milik Indonesia. Namun, bahan pokok dan makanan ringan masih dominan dari Malaysia.
”Barang masih dibeli dari negara tetangga karena ongkos kirim yang jauh lebih mahal kalau dari wilayah Indonesia,” kata Wiranto menyikapi kondisi di Sebatik itu.
Upaya menyejajarkan perbatasan dengan wilayah perkotaan jelas masih memerlukan waktu panjang. Namun, setidaknya ikhtiar itu sudah dimulai dan sebagian wilayah mulai memetik manfaatnya....