Kepolosan Jiwa
Lewat pementasan Indonesia Kita ke-31 ”Kanjeng Sepuh” dengan lakon sosok manusia yang kian tua dan ditinggalkan zaman justru menawarkan kembali jiwa kanak-kanak. Jiwa yang sederhana, polos, dan tidak menyimpan dendam atas kesalahan orang lain, serta jiwa-jiwa yang selalu diwarnai bahagia.
“Kita berharap pada pesta demokrasi nanti, kita bisa berdemokrasi dengan gembira, tidak usah ’gontok-gontokan’. Menjadi kanak-kanak, menjadi bahagia,” ujar Butet Kartaredjasa ketika membuka Pentas Indonesia Kita ke-31 ”Kanjeng Sepuh” di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (22/3/2019). Ujaran yang disambut riuh penonton.
Pesta demokrasi yang dimaksud Butet adalah pemilihan umum (pemilu) untuk memilih presiden dan wakil presidennya, serta memilih legislator. Pementasan ini berlangsung tiga kali, pada Jumat hingga Sabtu (23/3/2019).
Artistik panggung di bawah penataan Ong Hari Wahyu berubah menjadi makam, lalu kembali menjadi latar keriangan anak-anak yang menari dan menyanyi.
Cerita lakon Kanjeng Sepuh ini menjadi sebentuk dukungan kepada mereka yang sudah berusia lanjut agar tetap berkarya dengan jiwa kanak-kanak yang sederhana dan bahagia.
Naskah Kanjeng Sepuh ditulis Agus Noor. Sujiwo Tejo menjadi sutradara sekaligus pemeran utama, Kanjeng Sepuh, sosok manusia tua yang ingin meninggalkan urusan dunia nyata.
Kanjeng Sepuh menolak uang, tetapi tidak menolak mainan anak-anak karena itu sumber kebahagiaannya. Ia yang sudah tak bergairah seperti sedia kala mulai ditinggalkan istrinya, yang diperankan Wulan Guritno. Akhirnya, Kanjeng Sepuh mendapatkan perempuan pengganti, diperankan Yu Ningsih.
Yu Ningsih merupakan titisan Srikandi, tokoh perempuan pewayangan yang sakti dan menjadi salah satu istri Arjuna. Dikisahkan, sebelumnya Sang Semar (diperankan Butet) menyampaikan kepada sosok pemain yang juga berdandan seperti Semar, diperankan Marwoto.
Dikatakan kepada Marwoto bahwa negeri ini akan makmur sejahtera ketika pemimpinnya mendapatkan perempuan titisan Srikandi.
Di akhir kisah, Kanjeng Sepuh mendapatkan titisan Srikandi di dalam diri Yu Ningsih. ”Kanjeng Sepuh.... Jangan menolak takdir!” ujar Sang Semar, di babak penutup lakon tersebut.
Anak-anak
Ketika pentas dimulai, tirai tersibak. Semula ada kesan horor karena di panggung terdapat beberapa nisan mengesankan latar kuburan.
Kesan menakutkan sirna ketika sembilan anak masuk panggung. Mereka menari dan menyanyi di kuburan itu hingga para pemeran drama masuk.
Seperti pementasan Indonesia Kita yang sudah-sudah, penonton disuguhi adegan lelucuan yang menghibur. Di situ tampil Marwoto, Yu Ningsih, Wisben, Joned, Endah Laras, dan Rita Tilla. Tak ketinggalan kelompok Sahita dengan anggota empat perempuan dari Solo tersebut. Keempatnya adalah Wahyu Widayati (Inonk), Sri Setyoasih (Ting Tong), Atik Sulistyaning Kenconosari (Atik), dan Sri Lestari (Cemplunk).
”Mengapa harus takut di kuburan? Ini tempat kita sejak kecil bermain,” ujar Marwoto.
Marwoto pun tertidur di kuburan itu dan ditinggalkan lainnya. Di dalam tidurnya, ia didatangi sosok Semar yang memberikan keping emas sebagai tanda nyata kehadirannya kepada Marwoto. Sang Semar juga memberi pesan akan adanya titisan Srikandi yang akan mendampingi pemimpin bangsa ini menuju kemakmuran.
Adegan berikutnya, Akbar dan Cak Lontong masuk panggung membawa sekop dan mengenakan topi proyek. Penonton pun dikocok perutnya dengan lawakan-lawakan mereka. Sesekali mereka juga menyentil realitas sosial politik terkini.
”Kuburan itu serius. Di luar kuburan, orang hidup bisa pura-pura mati. Di kuburan, orang mati tidak bisa pura-pura hidup,” ujar Cak Lontong.
Cak Lontong menyerempet situasi sosial politik sekarang, di antaranya menjelang pemilu presiden dan wakil presiden yang seolah membelah masyarakat dalam kubu-kubuan.
”Sekarang tidak hanya ada dua kubu, tapi tiga. Kubu 01, kubu 02, dan kubu...ran di sini,” kelakar Cak Lontong.
Kejuangan, keriangan
Di lembar pengantar pementasan Kanjeng Sepuh yang disponsori Bakti Budaya Djarum Foundation, sosok cendekia Yudi Latif menuangkan tulisan berjudul, ”Kejuangan dengan Keriangan”.
”Pesan moralnya jelas. Perjuangan politik yang sehat seperti pohon dengan visi ideologi yang menjulang ke ’langit’ sakral, namun tetap berakar di bumi pohon,” tulis Yudi.
Bumi pohon itulah, lanjut Yudi, harus diwarnai keriangan interaksi kanak-kanak dengan pergaulan lintas kultural yang hangat dan spontan.
Yudi menguraikan, ketegangan politik hari ini menjurus ke arah pembelahan segala ruang hidup. Ini dipengaruhi ketegangan akibat penetrasi wilayah sakral dengan logika sakral berdasar identitas kelompok.
Ruang hidup dan spontanitas di wilayah profan terdesak. Yudi mengusulkan, harus ada usaha relaksasi dan usaha pencairan kebekuan es. Pentas Kanjeng Sepuh tak ayal lagi jadi bagian dari usaha relaksasi ketegangan itu.
Butet sakit
Pada bagian akhir pentas Kanjeng Sepuh, Jumat malam, Butet Kartaredjasa yang memerankan Sang Semar menutup cerita dengan membongkar siapa titisan Arjuna dan Srikandi. Seperti biasa, ia kemudian mengucapkan, ”Jangan kapok menjadi Indonesia.”
Siapa pun tidak menduga jika pada beberapa adegan Butet tidak muncul di panggung. Ia sempat pingsan di belakang panggung dan dilarang penulis naskah Agus Noor untuk muncul kembali ke panggung. Tetapi Butet bersikeras bahwa ia harus menuntaskan apa yang sudah dimulainya.
”Harus aku selesaikan,” kata Butet di belakang panggung seusai pentas. Ia tampak berselonjor di atas kursi dan dirawat seseorang. Wajahnya pucat pasi. Lalu dengan menahan rasa sakit ia berkata, ”Asam lambungku naik dari sore,” katanya. ”Maaf, ya, kalau kurang sempurna.”
Sekitar pukul 24.00 Butet dilarikan ke RS St Carolus Cikini untuk menjalani perawatan. Sampai Sabtu siang ia masih harus menjalani observasi dokter untuk menemukan titik sumbatan aliran darah pada pembuluh jantungnya. ”Kalau nanti ketemu titik sumbatannya akan dilakukan kateter,” kata Agus Noor.
Pentas lakon Kanjeng Sepuh pada Sabtu pukul 14.00 dan pukul 20.00 tidak lagi melibatkan Butet. Sutradara Sujiwo Tedjo dan penulis naskah Agus Noor melakukan beberapa perubahan adegan untuk menutupi adegan-adegan yang mestinya diperankan Butet.
”Pertama kali kita mengalami ini. Jadi kita coba berubah dadakan,” kata Agus Noor.
Semoga cepat sembuh juga Butet Sang Semar. (CAN)