Musim Semi Industri Film
Indonesia sedang memasuki musim semi industri film dan digadang-gadang berpotensi untuk merajai layar perfilman di kawasan Asia. Momentum yang perlu dijaga agar tidak layu sebelum benar-benar mekar.
Pada 2018, sejumlah film Indonesia tampil menggebrak. Tren menggembirakan itu terus berlanjut awal 2019. Tidak hanya film bioskop, drama seri televisi yang bisa diakses penonton dari banyak negara juga terus tumbuh dan menjadi saluran baru. Iklim perfilman sedang menjalar ke banyak spektrum.
Layanan televisi dalam jaringan HBO Asia menyadari hal itu jauh-jauh hari. Kerja sama dengan pelaku film Indonesia terus mereka lakukan. Sejumlah drama seri televisi berbagai genre yang melibatkan sutradara, aktor, dan kru Indonesia hadir dalam berbagai narasi.
Jessica Kam, Senior Vice President of HBO Asia Original Production, menyampaikan, industri film Indonesia sangat menjanjikan. Indonesia juga menjadi salah satu pasar yang terbesar di Asia saat ini. Ia percaya industri ini akan semakin besar dan terus tumbuh.
”Kalian mempunyai populasi sangat besar. Pasar film yang paling menjanjikan di Asia,” tutur Jessica saat ditemui di Hong Kong, Senin (18/3/2019), dalam rangkaian acara Hong Kong International Film and TV Market (Filmart) 2019.
HBO Asia mengundang sejumlah wartawan dari berbagai negara, termasuk Indonesia, untuk menghadiri perkenalan beberapa film dan drama seri terbaru mereka.
Dengan potensi pasar yang besar, tambah Jessica, industri film Indonesia sangat menjanjikan. Ia mencontohkan industri film China yang juga tumbuh pesat. Hal itu sangat mungkin terjadi di Indonesia jika industrinya terus didukung dan dikembangkan.
”Saya sebelumnya bertahun-tahun di industri film China, dan melihatnya tumbuh. Ini sangat mungkin terjadi di Indonesia. Indonesia punya potensi, punya populasi. Mari kita lihat Singapura misalnya, mereka memiliki banyak aktor dan aktris, tetapi mereka terbatas pada produksi dan jumlah penonton,” ujar Jessica.
Pertumbuhan industri film di suatu negara akan memperluas kesempatan aktor dan artis baru, memunculkan sutradara muda, juga meningkatkan kemampuan kru atau orang yang terlibat dalam produksi film.
Jessica menambahkan, akhir tahun lalu HBO Asia memperkenalkan Grisse, drama seri yang menampilkan Adinia Wirasti sebagai pemeran utama, dan beberapa aktor dan aktris Indonesia lainnya. Serial garapan Mike Willuan, sutradara berdarah Indonesia ini, mendapat sambutan positif dari banyak pihak.
”Itu (Grisse) sangat baik dampaknya bagi kami. Dalam waktu yang sama kami juga tayangkan di Eropa dan Amerika. Sekarang sudah ditayangkan di seluruh dunia, dan kami berharap bisa membuka mata dunia bahwa Indonesia juga bisa membuat hal seperti ini,” ucapnya.
Grisse, serial delapan episode yang masing-masing berdurasi 1 jam, adalah rilis original HBO Asia yang ketiga untuk tahun 2018 atau yang ke-12 secara total. Sebelum Grisse, di tahun yang sama juga ada Folklore, sebuah antologi horor dari enam negara. Indonesia menjadi salah satu pilihan, yang melibatkan Joko Anwar sebagai sutradara. Folklore ikut serta dalam berbagai festival film internasional, antara lain Toronto International Film Fetival, Geneva International Film Festival, atau Philadelphia Asian Film Festival.
Joko Anwar juga terlibat sebagai sutradara serial Halfworlds Season 1 pada 2015 lalu. Serial horor ini dibintangi Tara Basro, Arifin Putra, Reza Rahadian, Adinia Wirasti, dan lainnya. Serial original keempat HBO Asia ini mendapat banyak pujian, dan sukses menggondol penghargaan Best Editing, Best Direction, dan Best Drama Series dalam Asian TV Awards 2016.
Menurut Jessica, sejumlah penghargaan itu membuktikan kualitas film secara umum, juga pelaku film Indonesia khususnya, tidak bisa dianggap remeh.
”Salah satu cara terbaik untuk melihat progres adalah kritik dari luar, sekaligus apresiasi sejumlah pihak. Kami tidak melihat angka penonton karena itu tidak terlalu berkorelasi dengan kesuksesan,” ujarnya.
Mencari bakat
Selain Grisse, Folklore, dan Halfworlds Season 1, HBO Asia juga telah melahirkan sejumlah film, drama seri, atau dokumenter selama kurun tujuh tahun terakhir. Mulai dari Dead Mine pada 2012 yang menampilkan Ario Bayu dan Joe Taslim, hingga Master of The White Crane Fist yang tayang Februari lalu. Total jumlah produksi original HBO Asia selama tujuh tahun sebanyak 14 garapan.
Tahun ini, ada sejumlah drama seri yang dipastikan akan tayang. Di antaranya, Dream Raider, The World Between Us, The Teenage Psychic season II, dan Food Lore.
”Untuk Food Lore, antologi drama tentang makanan dari delapan negara, salah satunya akan dibuat oleh Billy Christian, sutradara muda dari Indonesia yang pertama kali bekerja sama dengan kami. Cerita yang dibuat Eric sangat bagus. Kami aktif mencari bakat baru, dan mendengar banyak rekomendasi dari banyak orang.”
Billy adalah sutradara beberapa film Indonesia bergenre horor. Terakhir, dia membuat The Sacred Riana yang sedang tayang di bioskop saat ini. Adapun Eric Khoo adalah showrunner untuk antologi drama Food Lore.
Menurut Billy, Eric menyukai film Mereka yang Tak Terlihat besutannya. Eric kemudian mengajaknya membuat antologi drama bertema makanan.
”Saya bikin ceritanya, Eric suka. Lalu lanjut membuat skenario. Sekarang sedang praproduksi. Ceritanya tentang terong, sesuatu yang sangat dekat dengan kita. Tantangannya tentu membuat sesuatu yang universal, dan menerjemahkan makanan ke dalam gambar,” ujarnya.
Dipercaya menjadi salah satu sutradara menjadi peluang Billy untuk bercerita banyak hal.
”Progres industri film di Indonesia sangat baik. Apresiasi terhadap film makin besar. Penonton bisa sangat kritis terhadap karya. Keterbukaan pemikiran para produser juga terjadi, bahwa income itu bukan cuma dari bioskop semata. Adanya digital platform membuka peluang lebih besar dari filmmaker, juga aktor dan aktris, hingga kru,” tutur Billy.
Meski begitu, juga ada berbagai tantangan yang harus dihadapi. Salah satunya soal regenerasi. Produser harus berani mengajak sutradara dan artis baru sehingga industri tumbuh sehat, dan tidak berputar di situ-situ saja.
Eric Khoo menambahkan, ia percaya pelaku film Indonesia bisa berbuat banyak, baik di kancah nasional, regional Asia, maupun dunia.
Sayangnya, tidak ada satu pun film original dari Indonesia yang diperkenalkan di ajang Hong Kong Filmart 2019. Padahal, lebih dari 300 screening film dilakukan di pergelaran yang melibatkan ratusan rumah produksi ini.
Tidak hanya itu, dari ratusan peserta expo yang datang dari 35 negara, peserta dari Indonesia dapat dihitung dengan jari. Berkeliling di area Pameran di Hong Kong Convention and Exhibition Centre, hanya ada dua peserta dari Indonesia.
Sementara paviliun-paviliun besar yang difasilitasi oleh pemerintah berbagai negara tersebar dalam ruangan pameran. Paviliun Perancis, Inggris, Korea, dan Jepang menjadi pusat keramaian orang untuk melihat karya pelaku film dari negara-negara tersebut. Di tahap ini, kita harus mengelus dada.