BANDUNG, KOMPAS — Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi Kementerian ESDM menambah alat pemantauan aktivitas vulkanik di sekitaran Gunung Agung, Kabupaten Karangasem, Bali. Pengoperasian alat-alat ini bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung Jawa Barat.
Jumlah alat-alat tersebut kini menjadi 53 unit dari sebelumnya 20 unit. Alat-alat itu tidak hanya diperuntukkan sebagai pemantauan, tetapi juga untuk alat penelitian mengenai karakteristik Gunung Agung.
Kepala Subbidang Mitigasi Gunung Api Wilayah Timur Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Devy Kamil Syahbana ketika dihubungi di Bandung, Minggu (24/3/2019), mengatakan, alat tambahan yang dipasang tersebut adalah 29 stasiun seismik dan 4 GPS. Sebelumnya, PVMBG hanya memasang 15 stasiun seismik dan 5 GPS.
”Pemasangannya di beberapa tempat dan tentu di luar kawasan rawan bencana 4 kilometer dengan status Siaga Gunung Agung kali ini. Harapannya, pemantauan menjadi lebih akurat,” kata Devy.
Pemasangannya di beberapa tempat dan tentu di luar kawasan rawan bencana 4 kilometer dengan status Siaga Gunung Agung kali ini. Harapannya, pemantauan menjadi lebih akurat.
Menurut Devy, Gunung Agung agak istimewa karena, antara lain, gunung ini terletak di wilayah atau pulau yang paling turistik, baik nasional maupun internasional. Pengalaman mengajarkan hal berharga, mulai dari lebih dari 1.000 orang tewas karena erupsi pada 1963 silam.
Lalu, katanya, pada 2017 juga menarik karena belum ada erupsi, tetapi sudah memberikan dampak luar biasa kepada perekonomian serta pariwisata Pulau Bali.
”Maka hal ini menjadi semakin menarik untuk diteliti lebih dalam. Perlu diteliti sebaik mungkin supaya lebih paham lagi karakteristik Gunung Agung,” ujar Devy.
Ia juga menyebutkan tujuan penelitian ini guna mencari formula yang benar-benar pas dan sesuai dengan karakteristik Gunung Agung. Formula yang ada hingga saat ini semenjak erupsi 2017, bagi Devy, belum cukup tepat sehingga memerlukan penelitian lanjutan. Hingga sekarang, aktivitas Gunung Agung masih berpotensi erupsi setiap saat meski diperkirakan tidak sebesar erupsi November 2017.
Devy menambahkan, penanganan kebencanaan Gunung Agung pada 2017 tersebut mendapatkan atensi dari ahli gunung api dunia. Para ahli menilai, penanganan kebencanaan di Indonesia lebih baik dari negara-negara lain yang ada di dunia. Karena itu, penghargaan diharapkan penanganan kebencanaan terus menjadi lebih baik ke depan.
Sosialisasi serta pemahaman risiko dan potensi bencana seperti gunung api perlu terus ditingkatkan. Hal ini penting agar dengan adanya sosialisasi mitigasi ini, masyarakat tahu apa yang dilakukan apabila ada bencana yang dihadapi, seperti erupsi Gunung Agung, baik masyarakat di lingkar gunung serta seluruh Pulau Bali.
Gunung Agung erupsi terakhir pada 21 Maret 2019 pukul 00.18 Wita. Lama erupsi tercatat durasi selama 1 menit 47 detik dengan amplitudo 23 milimeter. Namun, petugas tidak dapat memperkirakan tinggi kolom abu karena tertutup awan mendung. Tidak ada juga laporan warga mengenai hujan abu dampak dari erupsi tersebut.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bali Made Rentin terus mengingatkan agar masyarakat tetap meningkatkan kewaspadaan dan saling memberikan informasi.
Begitu pula sukarelawan Forum Pasemetonan Jagabaya (Pasebaya) Gunung Agung yang selalu aktif melalui jejaring di radio panggil ataupun media sosial untuk saling bertukar informasi.