Gunung Sadeng, gunung kapur di Kecamatan Puger, Kabupaten Jember, Jawa Timur, longsor, Senin (25/3/2019). Akibat peristiwa itu, satu orang hilang, dua orang terluka, dan enam kendaraan berat tertimbun.
Oleh
ANGGER PUTRANTO
·3 menit baca
BANYUWANGI, KOMPAS — Gunung Sadeng, gunung kapur di Kecamatan Puger, Kabupaten Jember, Jawa Timur, longsor, Senin (25/3/2019). Akibat peristiwa itu, satu orang hilang, dua orang terluka, dan enam kendaraan berat tertimbun.
Peristiwa itu terjadi sekitar pukul 07.00. Gunung kapur yang longsor itu merupakan lokasi penambangan. Sejumlah perusahaan melakukan penambangan di daerah itu untuk memenuhi kebutuhan industri semen.
Hal itu disampaikan Kepala Seksi Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jember Asrah Joyo Widono ketika dihubungi dari Banyuwangi, Senin. ”Longsornya gunung kapur di Kecamatan Puger mengakibatkan Sucipto (45) hilang dan diduga tewas tertimbun reruntuhan. Sementara Ucok (29) dan Hasan (28) mengalami luka-luka akibat kejadian itu,” ujarnya.
Asrah mengatakan, longsor terjadi saat sejumlah petambang sedang beraktivitas di lokasi kejadian. Tinggin tebing gunung yang longsor itu sekitar 20 meter dengan lebar 10 meter.
Hingga Senin Sore belum diketahui penyebab gunung kapur itu longsor. Hal itu masih diselidiki BPBD dan Kepolisian Resor Jember.
BPBD Jember, lanjut Asrah, terus melakukan upaya pencarian terhadap Sucipto dan enam kendaraan yang tertimbun. Proses evakuasi dilakukan dengan mengerahkan sejumlah alat berat.
Muhammad Syarifudin, warga Puger, mengakui Gunung Sadeng yang melintang dari utara ke selatan itu merupakan wilayah penambangan terbuka. Sejumlah perusahaan melakukan aktivitas penambangan di gunung itu.
”Beberapa perusahaan semen dan perusahaan tambang mineral melakukan aktivitas tambang di sana. Hampir di seluruh sisi gunung ada aktivitas tambang,” ungkapnya.
Ulil Albab, warga lain, juga mengeluhkan keberadaan tambang di Puger. Menurut dia, penambangan yang biasa menggunakan peledak itu sangat mengganggu dan meresahkan warga.
”Banyak aktivitas tambang menggunakan bom. Hal itu tentu mengganggu kenyamanan warga. Penambangan juga menyisakan polusi udara karena debu dan asapnya. Jalan desa juga jadi rusak karena pertambangan,” ujarnya.
Warga, lanjut Syarifudin, sudah pernah menolak keberadaan tambang itu. Namun, aktivitas tambang masih tetap ada. Ia berharap peristiwa longsor itu menjadi momentum untuk menutup aktivitas tambang di sana.
Dilihat dari kondisinya, lereng yang longsor itu memang sangat curam. Kemiringannya lebih dari 45 derajat.
Dosen Fakultas Teknik Universitas Jember, Yanuar Feri Irawan, menilai, longsor di Gunung Sadeng diakibatkan penambangan yang tidak memperhatikan kondisi lereng. Menurut dia, kondisi lereng yang terlalu curam sangat membahayakan aktivitas tambang.
”Dilihat dari kondisinya, lereng yang longsor itu memang sangat curam. Kemiringannya lebih dari 45 derajat. Kondisi itu sangat rawan longsor. Gunung kapur yang memiliki rekahan kalau terkena air mudah terjadi leaching (proses pemisahan zat yang dapat melarut),” ungkapnya.
Rekahan kecil itu jika terkena air akan menghasilkan rekahan yang semakin besar. Hal itu semakin diperparah dengan jenis batu kapur yang mudah terlepas karena tidak memiliki daya ikat yang kuat.
Yanuar juga tidak merekomendasikan penambangan menggunakan sistem peledakan. Sistem tersebut jika dilakukan dalam kondisi lereng yang curam justru meningkatkan potensi rawan longsor.