Persaingan yang semakin ketat di tengah dinamika perekonomian menjadi tantangan bagi pelaku usaha di berbagai sektor. Tak urung, pemanfaatan setiap potensi keunggulan menjadi keniscayaan dalam berkompetisi.
Indonesia diberkahi sebagai negara dengan beragam potensi. Sebut saja, misalnya, jumlah penduduk yang menciptakan peluang pasar besar bagi berbagai produk dan jasa. Hal ini menjadi salah satu pertimbangan calon investor saat akan menanamkan modal di Indonesia.
Belum lagi bicara tentang potensi limpahan beragam jenis bahan baku di berbagai industri yang tak dimiliki semua negara. Seharusnya Indonesia mampu mengoptimalkan semua keunggulan tersebut dalam menggarap pasar.
Namun, kenyataan sering kali bicara lain. Negara yang tak sekaya Indonesia di sisi bahan baku justru melenggang lebih maju dalam mengisi permintaan di pasar ekspor.
China dan Vietnam, misalnya, menunjukkan taji mereka dalam percaturan industri mebel. Padahal, kayu, bambu, dan rotan yang menjadi bahan baku mebel melimpah di Indonesia.
Menurut data Kementerian Perindustrian, nilai ekspor mebel Indonesia pada 2016 sebesar 1,6 miliar dolar AS. Nilai ekspor mebel naik menjadi 1,63 miliar dolar AS pada 2017 dan 1,69 miliar dollar AS pada 2018.
Sebagai perbandingan, Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia mencatat, China mampu mengekspor hingga 70 miliar dollar AS. Ekspor tersebut setara dengan seperempat dari keluaran produksi industri di China. Tiga perempatnya dikonsumsi di dalam negeri.
Tak pelak, Indonesia harus berjuang untuk meningkatkan pasar ekspor mebel. Belajar dari China, upaya mengonsumsi sendiri produk industri dalam negeri patut digelorakan.
Ratusan juta rumah, kantor, sekolah, restoran, dan berbagai tempat lainnya membuka ruang pasar bagi produk mebel karya anak bangsa. Di titik ini, komitmen perihal cinta produk Indonesia harus diwujudkan dengan membeli dan memakainya.
Malaysia dan China, sesuai dengan catatan Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia, selama ini banyak mengisi pasar Australia. Padahal, bahan baku keramik, seperti tanah liat, pasir silika, dolomit, batu kapur, dan mineral lainnya juga dimiliki Indonesia. Jarak Indonesia-Australia juga lebih dekat dibandingkan dengan jarak Malaysia-Australia, apalagi jarak China-Australia.
Kemenperin mencatat, ekspor industri pengolahan nonmigas meningkat dalam empat tahun terakhir. Nilai ekspor produk manufaktur meningkat, dari 108,6 miliar dollar AS pada 2015 menjadi 110,5 miliar dollar AS pada 2016.
Pada 2017, ekspor nonmigas sebesar 125,1 miliar dollar AS. Nilai ini meningkat pada 2018 menjadi 130 miliar dollar AS. Jangan lupa, kita berhadapan dengan tantangan untuk terus meningkatkan kinerja tersebut.
Keunggulan komparatif berupa kekayaan bahan baku sepatutnya menjadi bekal yang mesti dioptimalkan. Namun, ada catatan penting, yakni jangan biarkan pelaku industri berjibaku sendiri.
Apalagi, kompetitor dari negara lain yang kalah di sisi bahan baku sering kali mampu mengejar posisinya yang tertinggal dari sisi bahan baku. Itu karena mereka ditopang keunggulan di aspek lain, misalnya unggul di biaya produksi dan biaya energi yang lebih efisien. Keunggulan lain adalah pada produktivitas tenaga kerja.
Upaya yang mesti ditingkatkan untuk melaju lebih kencang dalam menggarap pasar ekspor adalah lebih giat menjalin perjanjian perdagangan dengan negara-negara tujuan ekspor. Hal yang tak kalah penting, lebih ramping di sisi regulasi sehingga pelaku usaha tidak terbelit aturan yang bertumpuk-tumpuk.
Jangan lupa, semua keunggulan dan upaya memperbaiki kinerja harus didukung dengan semangat tanpa henti. Semangat untuk memperbaiki diri demi hasil yang lebih baik bagi pelaku usaha, pekerja, dan bangsa. (C Anto Saptowalyono)