JAKARTA, KOMPAS — Upaya pemberantasan penangkapan ikan ilegal dinilai menjadi prestasi cemerlang yang dicapai pemerintah selama kurun 2014-2018. Namun, pencapaian itu dinilai belum diikuti dengan penegakan hukum yang optimal terhadap pelaku pencurian.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati, akhir pekan lalu, mengatakan, Pemerintah Indonesia menjadikan isu pemberantasan terhadap penangkapan ikan ilegal tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUUF) sebagai keberhasilan sektor perikanan di berbagai forum internasional. Pada saat yang sama, sejumlah pemimpin dunia terus diajak untuk bergabung dalam kampanye tersebut dan mengakui IUUF sebagai kejahatan lintas negara.
Sampai dengan tahun 2018, sebanyak 15 negara tercatat menyetujui deklarasi internasional tentang kejahatan transnasional terorganisasi dalam industri perikanan global.
Dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), hingga tahun 2018 sebanyak 488 kapal yang terkait IUUF telah ditenggelamkan. Kapal-kapal itu meliputi 276 kapal berbendera Vietnam, 90 kapal berbendera Filipina, 50 kapal berbendera Thailand, 41 kapal berbendera Malaysia, 26 kapal berbendera Indonesia, 2 kapal berbendera Papua Niugini, 1 kapal berbendera Tiongkok, 1 kapal berbendera Belize, serta 1 kapal yang tidak teridentifikasi asal negaranya.
Susan menilai, penenggelaman kapal itu belum diikuti penegakan hukum yang maksimal terhadap para pelaku IUUF. Pusat Data dan Informasi Kiara (2019) mencatat, 116 putusan pengadilan perikanan terhadap para pelaku IUUFsejak 2015-2018 tidak sesuai dengan mandat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan juncto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009.
Berdasarkan Pasal 93 UU Perikanan, ancaman pidana penjara ditetapkan paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp 20 miliar bagi pelaku IUUF. ”Namun, fakta-fakta di lapangan membuktikan mandat ini tidak diimplementasikan,” kata Susan.
Dari 116 kasus yang diproses pengadilan, hanya 113 kasus yang dikenai denda dengan total nilai Rp 80.245.500.000. Untuk denda, nilai paling tinggi sebesar Rp 6 miliar, sedangkan nilai terendah Rp 500.000. Sementara itu, sanksi kurungan paling lama 3 tahun, sedangkan paling sedikit hanya 2 bulan. “Bahkan, ada beberapa pelaku IUUF tidak diberikan sanksi kurungan,” kata Susan.
Pihaknya mendesak pemerintah menindaklanjuti upaya pemberantasan IUUF dengan penegakan hukum yang maksimal guna memberikan efek jera sehingga sumber daya perikanan di perairan Indonesia dapat lebih dinikmati oleh 8 juta keluarga nelayan di Indonesia. Hingga saat ini ada indikasi pencurian ikan di perairan Indonesia terus berlangsung meskipun pemerintah telah mendorong pemberantasan IUUF.
Pencurian marak
Sejak Januari hingga 17 Maret 2019, KKP telah menangkap 20 kapal perikanan ilegal, meliputi 16 kapal ikan asing dan 4 kapal perikanan Indonesia. Kapal ikan asing yang ditangkap terdiri dari 9 kapal berbendera Vietnam dan 7 kapal berbendera Malaysia.
Secara terpisah, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP KKP) Agus Suherman mengemukakan, kapal-kapal perikanan asing masuk dan melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia (WPP-NRI) disebabkan potensi sumber daya ikan di WPP-NRI yang masih melimpah.
Di sisi lain, beberapa negara tetangga, termasuk Vietnam, disinyalir mengalami penurunan stok sumber daya ikan. ”Hal ini mendorong kapal-kapal pencuri ikan masuk ke perairan Indonesia untuk melakukan penangkapan ikan,” katanya.
Agus menambahkan, upaya pemberantasan IUUF terus dilakukan melalui koordinasi dengan Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Ilegal (Satgas 115). Satgas 115 melibatkan antara lain PSDKP KKP, Polisi Air dan Udara (Polairud), TNI AL, kejaksaan, dan Badan Keamanan Laut.
Sebelumnya, dalam paparan Refleksi 2018 dan Outlook 2019 Satgas 115, beberapa waktu lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, yang juga Komandan Satgas 115, mengakui, meskipun penenggelaman kapal ilegal terus dilakukan sebagai upaya memaksimalkan efek jera, sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pelaku IUUF masih rendah.
”Tidak optimalnya hukuman pidana yang dijatuhkan juga disebabkan oleh ketentuan Pasal 73 Ayat 93) UNCLOS yang melarang hukuman badan terhadap pelaku asing,” ujar Susi.