JAKARTA, KOMPAS — Pembatasan kendaraan pribadi dinilai menjadi kunci selanjutnya untuk mengurangi kemacetan Jakarta. Tanpa pembatasan, penambahan moda transportasi publik, seperti MRT, tetap sulit untuk mengalihkan pengguna kendaraan pribadi ke transportasi massal umum.
Direktur Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia Yoga Adiwinarto mengatakan, pembatasan kendaraan pribadi paling mudah dan memungkinkan saat ini adalah pembatasan parkir. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat memberlakukannya dengan membuat peraturan rasionalisasi tarif parkir, yaitu dengan menaikkan harga parkir hingga membatasi ketersediaan parkir di satu kawasan dengan menawarkan insentif kepada pengelola gedung parkir.
”Di beberapa negara lain sudah terbukti. Hanya kebijakan pembatasan kendaraan pribadi yang bisa mengurangi kemacetan. Penyediaan moda transportasi umum massal bukan bertujuan untuk mengurangi kemacetan, melainkan menyediakan solusi alternatif pilihan untuk mobilitas warga. Dua kebijakan ini adalah dua sisi mata uang yang tak bisa dilepaskan satu sama lain,” kata Yoga di kantornya di kawasan Jakarta Pusat, Jumat (22/3/2019).
Selain pembatasan parkir, kebijakan pembatasan kendaraan pribadi dengan transportation demand management (TDM) adalah jalan berbayar (ERP) dan kebijakan ganjil-genap yang diberlakukan secara kawasan dalam waktu 24 jam, tidak dalam satu ruas dalam beberapa jam saja sehari.
Saat ini, ruang parkir di Jakarta dinilai masih sangat banyak. Di ruas Jalan Jenderal Sudirman-MH Thamrin dari Bundaran Senayan hingga Bundaran Patung Kuda Arjuna Wijaya saja diperkirakan ada 38.000-65.000 ruang parkir mobil.
Sementara kapasitas maksimal ruas jalan itu hanya 4.500 kendaraan per jam. Artinya, dengan jumlah ruang parkir sebanyak itu, arus kendaraan di puncak jam macet diperkirakan sekitar 13.000 mobil per jam. ”Kenapa ruas itu macet terus pada jam puncak, ya, itu karena kantong parkir lebih dari volume jalan yang ada,” katanya.
Selain ketersediaan yang berlimpah, tarif parkir di Jakarta juga sangat murah, bahkan banyak kantor memberikan fasilitas tarif parkir gratis untuk karyawannya.
Wakil Direktur ITDP Indonesia Faela Sufa mengatakan, hanya dengan kebijakan pembatasan parkir saja sebenarnya sudah memadai untuk membatasi penggunaan kendaraan pribadi. ”Pengguna kendaraan pribadi ini sudah terdorong untuk pindah ke transportasi umum kalau parkirnya susah,” katanya.
Kenaikan tarif parkir yang pajaknya masuk ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ini justru bisa dimanfaatkan untuk menambah armada moda transportasi publik Jakarta. Untuk itu, diperlukan restrukturisasi dinas yang mengelola parkir.
Yoga mengatakan, integrasi seamless mobility juga mutlak dilakukan untuk mendorong orang menggunakan transportasi umum massal itu. Integrasi ini baik dari sisi konektivitas dengan transportasi umum massal lainnya ataupun dari sisi tarif.
Dengan kisaran tarif Rp 6.000-Rp 15.000 per perjalanan, ongkos MRT yang tak terintegrasi dengan angkutan lainnya akan tetap relatif mahal karena penumpang tetap harus membayar lagi untuk moda transportasi lanjutan, baik menuju stasiun MRT maupun sampai ke tempat tujuan. ”Integrasi jangan hanya di mulut saja, tetapi harus betul-betul terwujud, baik dari tarif dan konektivitas hingga ke tempat tujuan,” ujar Yoga.
Jangan tinggalkan
Yoga mengatakan, transportasi umum massal berbasis rel sangat vital untuk Jakarta karena kapasitasnya yang besar. Namun, keberadaannya juga harus ditunjang oleh transportasi massal umum berbasis jalan.
Oleh karena itu, pengembangan angkutan umum berbasis jalan, seperti Transjakarta dengan Jaklingko, pun tak bisa ditinggalkan. Selama ini, angkutan umum berbasis jalan sudah terbukti paling efektif untuk Jakarta, yaitu biaya investasi dan operasional yang relatif lebih murah daripada angkutan berbasis rel.
Selain itu, pengembangan daya jangkau angkutan umum berbasis jalan juga lebih mudah sehingga dalam satu periode yang sama, daya jangkaunya bertambah jauh lebih luas dari pengembangan transportasi berbasis rel.
Sebagai perbandingan, kata Yoga, Transjakarta sejak beroperasi pada 2004 hingga 2019 ini mempunyai jangkauan 466 kilometer atau ada penambahan sekitar 14 kilometer per tahun.
Dari sisi keterangkutan, selama 15 tahun, Transjakarta telah mempunyai keterangkutan lebih kurang 1,4 miliar penumpang. Saat ini, keterangkutan Transjakarta sekitar 700.000 penumpang per hari.
Untuk MRT, sejak pertama kali direncanakan pada 2004 hingga terealisasi 2019, pengembangan jalur yang tercapai 15,7 kilometer. Sementara target penumpang MRT pada tahun pertama 65.000 orang per hari. Tahun kedua 91.000 penumpang per hari. Tahun ketiga 117.000 penumpang per hari.
Yoga mengatakan, hal ini membuktikan bahwa dari sisi nilai investasi dan efektivitas keterangkutan, transportasi umum massal berbasis jalan masih lebih efektif untuk diterapkan di Jakarta. Sembari tetap mengembangkan transportasi massal berbasis rel.