Mendikbud: Tinjau Ulang Kurikulum Pendidikan Agama
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyatakan, kurikulum pendidikan agama di sekolah perlu ditinjau ulang untuk menanamkan sikap toleran sejak dini.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
SLEMAN, KOMPAS – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyatakan, kurikulum pendidikan agama di sekolah perlu ditinjau ulang untuk menanamkan sikap toleran sejak dini. Peninjauan ulang itu diperlukan karena kurikulum pendidikan agama saat ini dinilai berpotensi membuat peserta didik berpikiran sempit dan tidak bisa menghargai pemeluk agama lain.
“Kurikulum pendidikan agama kita harus ditinjau secara radikal,” kata Muhadjir dalam acara Penguatan Kapasitas Auditor dan Pengawas Sekolah dalam Mempromosikan Toleransi dan Multikulturalisme di Sekolah, Senin (25/3/2019), di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Menurut Muhadjir, saat ini, kurikulum pendidikan agama di sekolah terlalu banyak memberi penekanan pada aspek pengetahuan, bukan pembentukan karakter atau sikap. Selain itu, Muhadjir menilai, kurikulum tersebut juga terlalu memberi penekanan pada kebenaran agama sendiri, sementara ajaran agama lain dianggap salah.
“Kurikulum pendidikan agama kita orientasinya serba pengetahuan dan pengetahuannya itu sangat deterministik. Yang saya maksudkan, isi pelajaran itu pokoknya agama yang dianut si anak itu paling benar dan yang lain tidak benar,” ujar Muhadjir.
Kurikulum pendidikan agama kita orientasinya serba pengetahuan dan pengetahuannya itu sangat deterministik. Yang saya maksudkan, isi pelajaran itu pokoknya agama yang dianut si anak itu paling benar dan yang lain tidak benar
Muhadjir menambahkan, ajaran semacam itu berpotensi membuat para peserta didik memiliki pandangan yang sempit. “Inilah yang membikin pandangan anak-anak sejak dini menjadi sangat sempit,” katanya.
Dia menuturkan, untuk menumbuhkan semangat toleransi sejak dini, dibutuhkan perubahan dalam kurikulum pendidikan agama yang ada. Di dalam kurikulum pendidikan agama, seharusnya tidak hanya diajarkan ihwal kebenaran agama sendiri, tetapi juga penghargaan terhadap pemeluk agama lain.
“Kalau kita ingin memasukkan semangat toleransi dalam kurikulum kita, kita harus tetap meyakinkan anak didik bahwa agama yang dianut itu benar. Tetapi dalam saat yang sama, kita harus memberi pemahaman pada mereka bahwa ada orang lain yang juga yakin bahwa agama yang mereka anut itu benar,” ungkap Muhadjir.
Muhadjir juga mengingatkan, sikap toleransi itu tidak hanya perlu ditumbuhkan kepada pemeluk agama lain. Sikap toleran kepada pemeluk agama yang sama tetapi memiliki pandangan keagamaan yang berbeda juga perlu ditumbuhkan.
“Sebetulnya, persoalan di Indonesia ini bukan hanya toleransi antar-umat beragama, tetapi toleransi internal umat beragama juga bermasalah. Karena masing-masing kelompok, melalui lembaga pendidikannya, berusaha meyakinkan bahwa apa yang diajarkan kelompok itu yang paling benar, sementara yang lain salah,” tutur Muhadjir.
Muhadjir menuturkan, peninjauan ulang kurikulum pendidikan agama di sekolah itu bukan merupakan kewenangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), tetapi menjadi wewenang Kementerian Agama. Oleh karena itu, Muhadjir mengaku telah menyampaikan usulan tersebut ke Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin.
“Maaf ini memang bukan wewenang saya, tapi saya sudah menyampaikan ke Pak Menteri Agama,” katanya.
Muhadjir menambahkan, saat ini, Kemenag telah bekerja sama dengan Kemdikbud untuk menata kembali kurikulum pendidikan. Menurut Muhadjir, tidak hanya kurikulum pendidikan agama yang ditata, tetapi juga mata pelajaran lain seperti pendidikan Pancasila. “Intinya untuk membangun semangat kebersamaan, toleransi, persaudaraan, persatuan, dan kesatuan,” ujarnya.
Intinya untuk membangun semangat kebersamaan, toleransi, persaudaraan, persatuan, dan kesatuan
Dalam kesempatan yang sama, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif, menuturkan, pendidikan agama di sekolah seharusnya tidak hanya mencakup aspek kognitif atau pengetahuan. Syafii menyebut, pendidikan agama perlu menyentuh ranah afektif yang mencakup moral, etika, dan rasa.
“Agama itu jangan hanya untuk memenuhi ranah kognitif, tetapi lebih kepada ranah afektif, moral, etika, dan rasa. Selama ini mungkin (pendidikan agama) menjadi sangat kering karena lebih kepada pengetahuan. Otak diisi, tapi hati dibiarkan telantar,” ungkap Syafii.
Intoleransi
Syafii menyatakan, selama ini, praktik intoleransi masih kerap terjadi di sejumlah sekolah di Indonesia. Praktik intoleransi yang terjadi itu memiliki berbagai bentuk, semisal adanya peserta didik yang merasa tidak nyaman saat harus berinteraksi dengan peserta didik yang beragama berbeda. “Virus (intoleransi) itu sedang bekerja untuk merusak bangsa ini,” katanya.
Meski begitu, Syafii meyakini virus intoleransi yang menyebar di sejumlah sekolah itu bisa dilawan. Salah satunya adalah dengan menumbuhkan sikap toleran dan menghargai kebhinekaan di kalangan pihak-pihak terkait, termasuk guru dan pengawas sekolah. “Tugas guru, pengawas, dan kepala sekolah menjadi sangat penting untuk itu (melawan intoleransi),” tuturnya.
Direktur Eksekutif Maarif Institute, Abd Rohim Ghazali, mengatakan, saat ini, Indonesia mengalami persoalan pelemahan nilai-nilai Pancasila. Kondisi itu terjadi antara lain karena berkembangnya paham radikal di berbagai kelompok, termasuk melalui sekolah. Untuk melawan berkembangnya paham radikal itu, dibutuhkan berbagai upaya, termasuk dengan menumbuhkan semangat toleransi di sekolah.
“Kita memulai langkah ini dari sekolah karena sekolah merupakan garda terdepan dari sosialisasi nilai-nilai yang akan dibawa anak-anak kita,” ujar Rohim.
Itulah kenapa Maarif Institute bekerja sama dengan Kemdikbud menggelar pelatihan untuk para auditor dan pengawas agar mereka memiliki pengetahuan dan kemampuan yang lebih baik dalam mempromosikan dan merawat semangat toleransi di sekolah.
Baca: Tokoh Lintas Agama di Batu Serukan Perkuat Toleransi