Misteri Makam Angkatan Laut Jerman di Jawa Barat
Diktator Nazi, Adolf Hitler, yang memicu Perang Dunia II dengan menyerbu Polandia pada 1 September 1939, ternyata meninggalkan berbagai jejak militernya di Nusantara. Salah satunya di Arca Domas, Desa Pasir Muncang, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. Di sana terdapat kompleks pemakaman dan monumen Kriegsmarine (Angkatan Laut) Jerman dari era Perang Dunia I dan Perang Dunia II.
Monumen utama dibangun tahun 1926 oleh kakak beradik Emil dan Theodor Helfferich dengan tulisan ”Dem Tapferen Deutsch-Ostasiatischen Geschwader 1914”, yang berarti Para Pemberani Pelaut Armada Asia Timur Jerman Tahun 1914. ”Errichtet Von Emil Und Theodor Helfferich”, berarti didirikan oleh Emil dan Theodor Helfferich.
Saat Kompas berkunjung pada Jumat (21/3/2019), sepasang makam dengan batu nisan khas militer Jerman berbentuk Salib Baja—Stahl Kruis—terdapat di ujung depan kompleks. Batu nisannya berwarna hitam dengan tulisan berwarna emas unbekannt, yang berarti makam tersebut adalah milik prajurit tak dikenal. Kerimbunan pepohonan tropis, taman, dan deretan pohon kamboja menaungi kompleks makam.
Pada deretan makam yang lain terdapat jelas nama-nama para pelaut Jerman dengan kepangkatan dan kapal selam (U-Boot) tempat mereka bertugas semasa Perang Dunia II di perairan Nusantara. Sepasang patung, yakni Ganesha dan Buddha, mengapit monumen besar yang menjadi pusat mandala pemakaman tersebut. Wilayah tersebut dinamakan Arca Domas karena diyakini menjadi salah satu pusat Kerajaan Sunda Pajajaran pada masa terakhir peradaban Hindu.
Adapun para pelaut Jerman yang dimakamkan di sana bernama Herman Tangermann berpangkat kapten leutnant, Lieutenant Ing Wilhelm Jens, Ober Leutnant (setara kapten) Doktor Insinyur H Haake dari kapal selam U-196, Ober Leutnant Zur See (setara kapten laut) Friedrich Steinfeld Komandant U-195, Schiffszimmermann (teknisi perbaikan kapal) Eduard Onnen, Ober Leutnant Zur See (Kapten Laut) Will Schlummer, dan Ober Gefreiter (setara pangkat kelasi satu) Will Petschow. Mereka adalah bagian dari awak U–Boot Kriegsmarine yang bertugas di Jawa semasa Perang Dunia II.
Menilik tanggal kematian mereka, penulis Nino Oktorino mencatat, sebagian dari mereka menjadi korban salah sasaran dalam rangkaian kekerasan terhadap warga Eropa pasca-Proklamasi 17 Agustus 1945.
Kompleks pemakaman yang terletak di perbukitan yang indah dan di sela kebun teh tersebut merupakan peninggalan keluarga besar pengusaha perkebunan Jerman, Emil Helfferich, kelahiran Neustadt ad der Haardt tanggal 17 Januari 1878 dan adiknya, Theodore Helfferich, yang kelahiran tahun 1880.
Emil Helfferich adalah mantan serdadu artileri di Angkatan Darat (Wehrmacht) Kekaisaran Prusia sebelum menjadi Republik Jerman yang mengadu nasib berdagang di Sumatera sebelum membuka perkebunan di Gadog, Jawa Barat.
Perkebunan pengusaha Jerman
Geoffrey Bennet dalam buku The Pepper Trader yang disarikan dari bahan-bahan yang didapatnya dari sejarawan Adolf Heuken SJ menceritakan perjalanan Emil Helfferich dari Genoa ke Penang akhir 1899, kemudian berdagang ke Oost Haven di Lampung pada Mei 1901. Semasa di Penang, dia bekerja untuk seorang pengusaha Jerman bernama Friederichs.
Ketika itu sudah banyak pedagang dan pekebun Belanda, Jerman, dan Swiss yang mengadu nasib dan sukses di Sumatera Timur.
Pada kurun 1895-1901, harga komoditas timah naik dua kali lipat dan harga lada naik empat kali lipat. Helfferich pun menemui Wijmalen, Residen Belanda di Teluk Betoeng atau Oost Haven, sebelum membuka bisnis di sana.
Dalam dua tahun pertama, sebagai pedagang Eropa pertama di sana, selain memasarkan lada dan kopi dari Lampung, dia juga mengimpor berbagai barang dagangan dari Inggris, anggur dari Hamburg, Jerman, sardin Perancis, kaus buatan Barcelona, Spanyol, dan menjual tembakau Belanda.
Bisnis Emil Helfferich terus berkembang dan dia mengundang dua sahabatnya sesama orang Jerman, yakni Georg Rademacher dan Albert Paulmann, untuk mengembangkan bisnis ekspor lada di Lampung. Mereka menjadi eksportir lada terbesar di Lampung kala itu.
Sesudah sukses di Lampung, dia memilih mengembangkan bisnis di Jawa dalam bidang perkebunan teh. Sebenarnya, secara perhitungan, ketika itu bisnis perkebunan karet dianggap lebih menjanjikan. Emil Helfferich bergeming, dia terus mendorong pemodalnya di Hamburg dan Antwerpen untuk memberikan modal buat kebun teh. Dia mengajak salah satu kakaknya, Karl, seorang direktur di Deutsche Bank, untuk terlibat.
Akhirnya dia membuka kebun teh di Cikopo, di sisi utara Gunung Pangrango. Kini sebagian jalur perkebunan tersebut menjadi jalan alternatif dari Gadog menuju Taman Safari Indonesia (TSI) di Cisarua. Lahan tersebut seluas 4.300 hektar atau 6.000 bahu yang membentang dari ketinggian 2.400 meter sampai 800 meter di atas permukaan laut. Terdapat 11.000 penduduk Sunda dengan 1.500 bau sawah di kawasan tersebut.
Pada tahap awal, Emil Helfferich berhasil membuka 1.300 bau kebun teh dan 135 bau kebun kina. Pengusaha Perancis membuka perkebunan Gunung Mas di sebelah timur, sementara pengusaha Belanda membuka kebun kecil di Pasir Angin dan di seberang dekat Ciliwung dan Megamendung tempat pengusaha Inggris membuka perkebunan teh. Dalam cuaca dan bulan baik, perkebunan milik Helfferich dapat memproduksi 100.000 pon daun teh kering atau 50 ton.
Pada akhir 1910, lima pabrik sudah mereka bangun di Jawa dan Sumatera. Pada 14 Oktober 1911, perusahaan Straits and Sunda Syndicate yang didirikan Helfferich resmi berdiri di Hamburg, Jerman, yang menghimpun 12 perusahaan. Bisnis berkembang dan pada 1913 mereka memiliki 2.200 hektar kebun teh dan 300 hektar kebun kopi serta karet yang mempekerjakan 57 staf Eropa dan 6.800 pekerja lokal.
Sebagian dari lokasi kebun dekat Pasir Muncang ke arah Gunung Pangrango, menurut Geoffrey Bennet, adalah lokasi pertempuran pasukan Banten dan Cirebon yang menaklukkan Kerajaan Hindu Pajajaran tahun 1578. Lokasi tersebut dinamakan Arca Domas karena legenda setempat menceritakan ada ratusan prajurit Pajajaran yang tidak mau menyerah dan berubah menjadi 800 batu besar. Sisa artefak tersebut ada yang disimpan di sebuah sekolah keagamaan di Pasir Muncang.
Jerman dan Perang Dunia di Asia
Perkebunan Cikopo tersebut terus berkembang. Emil Helfferich dan istrinya, Dina, mengelola perkebunan. Saat itu bayang-bayang Perang Dunia I di Eropa mulai mengintai kedamaian masyarakat di Hindia Belanda.
Ketika Perang Dunia I pecah, keluarga Helfferich sebagai pengusaha besar Jerman di Hindia-Belanda yang netral banyak membantu para pelaut kapal dagang dan termasuk pelaut Armada Asia Timur Jerman yang berpangkalan di Qingdao, China. Setelah Qingdao berhasil direbut Jepang dari Jerman, satu kapal penjelajah, yakni SMS Emden, menyerang kapal-kapal Sekutu dan sering beroperasi di sekitar perairan Nusantara. Sesuai dengan aturan negara netral, SMS Emden bisa berlabuh untuk mengisi logistik batubara, air, dan makanan, tetapi tidak boleh berada lebih dari 24 jam di pelabuhan Hindia Belanda.
Semasa itu, Kees van Dijk dalam buku Hindia Belanda dan Perang Dunia I 1914-1918 dilanda berbagai perang propaganda dan kabar bohong. Simpati terhadap Jerman dan Turki menimbulkan ketakutan penguasa Hindia Belanda terhadap perlawanan rakyat.
Simbol gambar Kaisar Jerman dan Sultan Turki pun laris dijual di Jawa dan Nusantara. Penasihat urusan Islam Pemerintah Hindia Belanda, Snouck Hougronje alias Abdul Gaffur, bahkan sempat meminta Gubernur Jenderal melarang ibadah haji karena kekhawatiran adanya provokasi di Tanah Suci agar masyarakat asal Indonesia melawan pemerintah Hindia Belanda.
Perang Dunia I pun berakhir, keluarga Helfferich berusaha membangkitkan kembali usaha. Pada tahun 1920-an, menurut penulis Horst Henri Geerken dalam buku Jejak Hitler di Indonesia, disebutkan semasa PD I, Emil Helfferich sudah menerbitkan tiga majalah, yakni Deutsche Wacht-Penjaga Jermania, Deutscher Bund atau Liga Jerman, dan Deutsches Haus atau Rumah Jerman.
Majalah dan organisasi Deutsches Haus didirikan di tempat Konsul Jerman di Koningsplein Sud, kini Jalan Medan Merdeka Selatan yang sekarang menjadi bagian kompleks Kedutaan Besar Amerika Serikat.
Selanjutnya pada 1924, Emil Helfferich mendirikan Kamar Dagang Jerman di Hindia Belanda yang berpusat di Batavia. Lalu, dia kembali ke Jerman pada 1928 meninggalkan usahanya yang kemudian diteruskan keluarga dan teman-temannya.
Helfferich sempat bertemu Walther Hewel yang kelak semasa Perang Dunia II menjadi Wakil Menteri Luar Negeri Jerman mendampingi Joachim von Ribentropp. Hewel adalah teman baik Adolf Hitler dan pernah dipenjara bersama di Landsberg.
Hewel juga berbisnis dengan pengusaha Inggris mengerjakan perkebunan teh Malabar di selatan Bandung. Korespondensi Hewel-Helfferich terus berlangsung. Hitler pun mengenal Helfferich dan mendapat informasi mengenai kekayaan Nusantara dari Hewel dan Helfferich.
Berdasar nilai strategis itulah, Adolf Hitler memerintahkan U-Boot Jerman beroperasi hingga ke Jawa untuk membantu sekutunya, yakni Angkatan Laut Jepang (Kaigun). Armada Jerman tersebut berpangkalan di Batavia dan Surabaya. Mereka juga didukung skuadron pesawat amfibi yang berpangkalan di Morokrembangan, Surabaya.
Semasa beroperasi di Jawa dalam Perang Dunia II, menurut Henri Geerken, ada lebih dari 60 kapal selam Jerman yang mencapai Jawa dari pangkalan mereka di Eropa. Konsulat Jerman terus beroperasi di Batavia, sekolah Jerman (Deutsche Schule) didirikan di Sarangan, dekat Telaga Sarangan, di atas Madiun, dan para pelaut Jerman yang berada di Batavia sering bertetirah di perkebunan Cikopo milik keluarga Helfferich.
Setelah Jerman dikalahkan Sekutu di Eropa dan para pelaut Jerman diinternir penguasa Jepang, masih ada dua kapal selam Jerman yang tersisa di Pelabuhan Tanjung Priok. Kemudian Jepang menyerah, Indonesia pun memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Terdapat sejumlah pelaut AL Jerman yang kemudian menjadi korban dalam kekerasan yang terjadi pada masa-masa yang kacau pada akhir tahun 1945.
Mereka pun dimakamkan di Arca Domas, Cikopo, Gadog, yang kini menjadi satu-satunya makam militer Jerman di Indonesia. Kini, Kedutaan Besar Jerman di Jakarta dalam peringatan berduka (volkstauertag) secara rutin mengadakan upacara di pemakaman Arca Domas tersebut.
Adapun perkebunan milik keluarga Helfferich itu kemudian dikelola oleh badan usaha milik negara (BUMN) di bawah PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII. Selain sebagai pemasok teh, wisata sejarah makam Jerman dan kisah perusahaan perdagangan Jerman tersebut dapat menjadi daya tarik bagi pengunjung dalam dan luar negeri.