JAKARTA, KOMPAS — Upaya dan inisiatif dari sejumlah elemen masyarakat sipil sebagai representasi publik untuk menjadi pemantau Pemilu 2019 patut diapresiasi. Kehadiran pemantau dari unsur masyarakat sipil akan menjadi penyeimbang bagi penyelenggaraan pesta demokrasi oleh negara sekaligus mengawal legitimasi hasil pemilu.
Sedikitnya dua inisiatif telah diambil elemen masyarakat sipil untuk memosisikan diri sebagai pemantau. Pertama, inisiatif diambil oleh KawalPemilu dan Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) yang meluncurkan KawalPemilu-Jaga Suara 2019 (KPJS 2019) pada 20 Maret lalu. Pada Pemilu 2014, KawalPemilu juga aktif sebagai pemantau independen yang dimotori oleh jaringan relawan di seluruh Indonesia.
Inisiatif kedua diambil oleh Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Kode Inisiatif, Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, serta Mata Rakyat. Kelompok masyarakat sipil tersebut meluncurkan gerakan pemantauan pemilu beranggotakan 85.000 anggota di 15 provinsi, Minggu (24/3/2019), di Jakarta. Mereka yang menjadi pemantau adalah sukarelawan yang merupakan anggota jaringan dari KIPP dan JPPR yang tersebar di 15 provinsi.
Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana mengatakan, inisiatif publik itu patut diapresiasi karena mereka aktif turut serta menjaga legitimasi pemilu. Melalui gerakan-gerakan tersebut, secara langsung publik diajak untuk aktif mengawasi atau memantau penyelenggaraan pemilu, mulai dari kampanye rapat umum, masa tenang, hingga hari pemilihan dan penghitungan suara.
”Berbagai persoalan masih harus dihadapi oleh penyelenggara, antara lain soal adanya ketidakpercayaan terhadap pemilu. Hal itu pun sudah muncul sejak Pemilu 2014. Artinya, kepercayaan publik pada hasil pemilu masih sangat rendah sehingga butuh pengawasan oleh masyarakat,” kata Aditya.
Inisiatif publik itu patut diapresiasi karena mereka aktif turut serta menjaga legitimasi pemilu. Melalui gerakan-gerakan tersebut, secara langsung publik diajak untuk aktif mengawasi atau memantau penyelenggaraan pemilu, mulai dari kampanye rapat umum, masa tenang, hingga hari pemilihan dan penghitungan suara.
Kehadiran pemantau yang digerakkan elemen masyarakat sipil itu pun dinilai sepenuhnya sukarela dan merupakan bentuk kepedulian publik pada penyelenggaraan pemilu yang berintegritas.
”Ini adalah pemilu pertama yang dilangsungkan serentak antara pemilu legislatif dan pemilu presiden sehingga menjadi sejarah tersendiri bagi Indonesia. Bagi publik pun demikian, mereka bersemangat untuk ikut memantau penyelenggaraannya,” katanya.
Manajer Pemantauan Sekretariat Nasional JPRR Alwan Ola Riantobi mengatakan, pemantauan yang dilakukan pihaknya meliputi dua hal, yakni pemantauan proses dan pemantauan hasil pemilu. Pemantauan proses itu meliputi antara lain kampanye rapat umum, masa tenang, distribusi logistik, jaminan hak pilih, dan identifikasi tentang politik uang. Kedua, tim pemantauan juga memastikan hasil pemilu tidak dicurangi.
”Teman-teman sukarelawan dan pemantau di daerah cukup mengecek C1 plano dan memasukkannya ke aplikasi yang sedang kami bangun. Pemantauan hasil ini menjadi penting. Dari berbagai pengalaman selama ini, banyak persoalan muncul akibat sengketa hasil pemilu,” kata Alwan.
Peneliti senior Netgrit, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, mengatakan, aktivitas yang dilakukan gerakan KawalPemilu-Jaga Suara 2019 merupakan upaya mengawal atau menjaga suara saat penghitungan. Para sukarelawan yang terlibat datang pada proses penghitungan, lalu memotret hasil penghitungan pada C1 plano. Hasilnya lalu diunggah ke sistem KPJS 2019.
”Siapa pun bisa menjadi sukarelawan KawalPemilu-Jaga Suara 2019 asalkan dia nonpartisan, tidak berpartai, dan tidak berpihak kepada calon tertentu. Sampai saat ini ada sekitar 10.000 sukarelawan yang terlibat dalam gerakan ini,” kata Ferry.
Mekanisme penghitungan menggunakan cara ini, menurut Ferry, sekaligus untuk menguji kesahihan hasil pemilu. Apabila dengan cara foto dan unggah ke sistem sebagaimana diterapkan oleh KPJS 2019 bisa berlangsung dengan baik, cara ini bisa diadopsi untuk mekanisme penghitungan pada pemilu-pemilu berikutnya.
”Jadi, ke depannya, pemilu tidak perlu dilakukan rekapitulasi berjenjang dari desa ke kecamatan, lalu kabupaten/kota, dan provinsi sebab dari C1 Plano yang dikirim ke sistem dari setiap TPS sudah bisa dketahui hasilnya,” kata Ferry.