Tenun Tanimbar untuk Bung Hatta Dibawa Kembali ke Kampung Asalnya
Suatu hari di tahun 1953, Yanuaris Sarbunan kepala Kampung Amdasa berlari ke Saumlaki, ibukota Kecamatan Tanimbar Selatan, Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku, sejauh 50 kilometer sambil membawa sehelai kain untuk diberikan pada Mohammad Hatta, Wakil Presiden Indonesia.
Oleh
FRANSIKUS PATI HERIN
·4 menit baca
Suatu hari pada tahun 1953, Yanuaris Sarbunan berlari dari Kampung Amdasa ke Saumlaki, ibu kota Kecamatan Tanimbar Selatan, Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku. Kepala kampung itu berlari sejauh 50 kilometer sambil membawa sehelai kain berukuran sekitar 2 meter x 1 meter untuk diberikan sebagai tanda mata kepada Mohammad Hatta, Wakil Presiden Indonesia kala itu.
Sekitar 65 tahun kemudian atau pada November 2018 lalu, kain yang bertuliskan ”Selamat Datang Bapa Negara” dan gambar Kepulauan Tanimbar itu kembali lagi ke Amdasa yang secara administratif masuk Kecamatan Wertamrian, Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Semesta mempertemukan kain itu dengan kampung tempat ditenun.
Kain itu dibawa oleh Halida Nuriah Hatta, putri ketiga Bung Hatta yang kini menjabat sebagai Special Advisor Lo INPEX Masela Ltd. ”Waktu saya bawa kain ke sini, saya tidak menyangka bahwa kain ini ditenun di desa ini. Kain ini saya ambil dari tumpukan kain di lemari Bung Hatta,” kata Halida di Amdasa. Amdasa merupakan salah satu desa binaan Bank Indonesia Perwakilan Maluku dan Inpex dalam hal pengembangan tenun ikat.
Kain tenun untuk Bung Hatta itu menjadi pendorong pengembangan tenun di Amdasa. Pada November 2018, program pendampingan dimulai melalui pembentukan Kelompok Tenun Batlolonar. Belasan ibu rumah tangga diajarkan menenun menggunakan alat tenun bukan mesin. Selama ini, para petenun di Tanimbar terbiasa mengandalkan alat tenun gedogan. Empat bulan kemudian, tepatnya Selasa (19/3/2019), dilakukan acara inaugurasi bagi kelompok itu. Mereka dinyatakan sudah bisa menggunakan alat tenun bukan mesin.
Sejumlah warga mengatakan, pemilihan Amdasa sebagai tempat pembuatan kain bagi Bung Hatta itu dengan alasan bahwa di Amdasa terdapat banyak petenun. Namun, warga tidak tahu persis siapa yang menenun kain untuk Bung Hatta itu. ”Yang kami tahu, pada tahun 1953 itu kepala desa namanya Bapak Yanuaris Sarbunan. Dia yang bawa kain ini untuk Bung Hatta,” kata Kepala Desa Amdasa L Angwarmase kepada Kompas.
Tanimbar merupakan daerah di Maluku yang masyarakatnya pandai menenun. Tenun Tanimbar sudah terkenal ke sejumlah negara di dunia lewat berbagai pameran. Selain untuk upacara adat, tenun juga dipakai untuk pakaian dinas dan seragam sekolah. Di beberapa Gereja Katolik, misalnya, kain tenun dipakai untuk membalut patung-patung kudus.
Halida mengatakan, masyarakat Tanimbar, khususnya Amdasa, mempunyai DNA, asam deoksiribonukleat yang menyimpan segala informasi biologis yang unik dari setiap makhluk hidup, sebagai petenun. Nilai seni itu sudah ada dalam diri mereka.
Pada 1954, mereka sudah bisa menulis dan menggambar peta dalam satu lembar tenun ikat. Proses tersebut terbilang cukup sulit untuk kondisi saat itu yang serba terbatas. ”Kreativitas sudah melekat dalam diri mereka secara turun-temurun,” katanya.
Masyarakat Tanimbar, khususnya Amdasa, mempunyai DNA sebagai petenun. Nilai seni itu sudah ada dalam diri mereka.
Potensi tersebut kini dilirik oleh Bank Indonesia dan Inpex untuk didorong. Inpex merupakan perusahaan minyak dan gas yang memenangi tender pengelolaan gas Blok Masela yang berada di Kepulauan Tanimbar. Pendampingan itu sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan kepada daerah tersebut.
Kepala Tim Advisory dan Pengembangan Ekonomi Bank Indonesia Kantor Perwakilan Maluku Andy Setyo Biwado mengatakan, potensi tenun Tanimbar semakin menggairahkan perekonomian lokal. Sebagaimana tugas Bank Indonesia, aktivitas ekonomi berbasis kekuatan lokal harus terus diperkuat. Andy melihat ada kemauan yang besar dari masyarakat untuk maju lewat usaha tenun ikat.
Mengutip data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, pada tahun 2017, total pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lebih kurang 59 juta orang. UMKM menguasai 99 persen total usaha serta menyerap 97 persen angkatan kerja. UMKM menjadi kekuatan ekonomi di daerah. Saluran pasar yang selama ini menjadi tantangan bagi para petenun kini dicarikan jalan keluarnya oleh Bank Indonesia dan Inpex.
Kain Tanimbar kini mudah ditemui di sejumlah toko yang menjual tenun ikat, baik di Ambon maupun di Jakarta. Harga kain berukuran 2 meter x 1 meter pada kisaran Rp 500.000 per lembar. Tenun Tanimbar diharapkan dapat mengangkat ekonomi warga setempat. Kabupaten Kepulauan Tanimbar merupakan kabupaten dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Maluku, yakni sekitar 28 persen.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Kepulauan Tanimbar Elisabeth Werembinan mengatakan, kain dari Tanimbar mulai naik pamor dalam lima tahun terakhir. Meski sedikit lambat dibandingkan dengan tenun ikat dari Flores, NTT, misalnya, ia optimistis kain dari Tanimbar mempunyai segmen penggemar tersendiri. ”Yang paling penting adalah menjaga identitas Tanimbar itu,” ujarnya. Saat ini terdapat sekitar 2.000 petenun kain Tanimbar di daerah itu.
Dulu, kain yang dibawa oleh Yanuaris dari Amdasa untuk Bung Hatta itu hanya dijadikan sebatas kenangan. Kini, kain itu dibawa kembali untuk mengingatkan bahwa simbol budaya itu menjadi kekuatan ekonomi baru yang telah lama dibiarkan mari suri.