Trade Expo Indonesia, Upaya Strategis Tingkatkan Ekspor
JAKARTA, KOMPAS – Lambatnya pertumbuhan ekonomi serta defisit neraca perdagangan yang masih dialami Indonesia memerlukan upaya perbaikan. Salah satunya melalui kegiatan pameran perdagangan berskala internasional yang bertujuan untuk meningkatkan ekspor dan memperluas pasar tujuan ekspor.
Dalam lima tahun terakhir, Kementerian Perdagangan mencatat, pertumbuhan domestik bruto Indonesia sebesar 5,01 persen (2014), 4,88 persen (2015), 5,03 persen (2016), 5,07 persen (2017), dan 5,17 persen (2018).
Selain itu, Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat, defisit neraca perdagangan migas pada 2018 sebesar 12,4 miliar dollar AS. Sementara neraca perdagangan nonmigas surplus 3,83 miliar dollar AS. Maka, neraca perdagangan Indonesia pada 2018 defisit hingga 172,38 persen dibandingkan 2017 atau sebesar 8,57 miliar dollar AS.
“Meski neraca perdagangan nonmigas surplus, namun kita harus terus meningkatkan ekspor guna memperbaiki neraca perdagangan. Selain melalui misi dagang, kita akan kembali mengadakan Trade Expo Indonesia sebagai salah satu upaya strategis,” kata Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Arlinda, di Jakarta, Senin (25/3/2019).
Paparan ini disampaikan dalam peluncuran gelaran ke-34 Trade Expo Indonesia (TEI) 2019. Hadir pula sebagai narasumber, yaitu Direktur Eksekutif Indonesia Eximbank (LPEI) Shinta Roesly, Sekretraris Direktorat Jenderal Amerika dan Eropa Kementerian Luar Negeri Ratu Silvy Gayatri, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Benny Soetrisno, dan Direktur PT Debindo Multi Adhiswasti Budiarto Linggowiyono.
Meski neraca perdagangan nonmigas surplus, namun kita harus terus meningkatkan ekspor guna memperbaiki neraca perdagangan. Selain melalui misi dagang, kita akan kembali mengadakan Trade Expo Indonesia sebagai salah satu upaya strategis
TEI merupakan ajang pertemuan business to business (B2B) terbesar di Indonesia sekaligus kesempatan bagi pembeli yang mencari produk Indonesia berkualitas dan berdaya saing. Pameran dagang skala internasional ini dijadwalkan akan berlangsung pada 16─20 Oktober 2019 di Indonesia Convention Exhibition (ICE) Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang, Banten.
Pada 2018, TEI membukukan transaksi sebesar 8,49 miliar dollar AS, naik lebih dari 5 kali lipat dari target, senilai 1,5 miliar dollar AS. Selain itu, jumlah pengunjung pameran tercatat hingga 33.333 orang dari 132 negara. Arlinda mengatakan, tentu target tahun ini di atas capaian tahun 2018.
Mengusung tema “Moving Forward to Serve The World”, TEI 2019 menjadi peluang bagi pebisnis yang ingin mencari pasar potensial bagi ekspor nasional dan investor asing yang berminat mengembangkan usahanya di Indonesia.
“Pada TEI tahun lalu, negara yang hadir sebagai pembeli didominasi dari pasar nontradisional, misalnya Afrika, Timur Tengah, dan Asia Tengah. Selain itu, untuk jumlah transaksi, juga terbesar datang dari Arab Saudi, India, dan Mesir. Tentu ini sesuai dengan target diversifikasi pasar yang ditargetkan pemerintah,” ujar Arlinda.
Maka, untuk TEI 2019, selain tetap menjaga pasar tradisional, yaitu China, Amerika Serikat, dan Jepang, kami juga terus mencari negara lain, yaitu di kawasan Afrika, Asia Selatan, Amerika Latin dan Selatan, hingga ke Eropa Timur. Sementara untuk produk ekspor yang akan dipromosikan, yaitu produk berteknologi tinggi seperti kereta api, alat berat, senjata, dan kapal.
Diversifikasi pasar
Sejalan dengan itu, Ratu Silvy Gayatri menyampaikan, kawasan Amerika Latin dan Karibia merupakan pasar nontradisional yang perlu digarap dengan sungguh-sungguh. Sebab, nilai perdagangan di kawasan ini cukup menjanjikan, yaitu mencapai 1,98 triliun dollar AS.
“Kawasan Amerika Latin dan Karibia memiliki jumlah penduduk hingga 647 juta jiwa dengan pertumbuhan domestik bruto mencapai 5,3 triliun dollar AS. Ini merupakan salah satu kawasan yang paling berkembang di dunia, selain kawasan Asia,” tutur Silvy.
Maka, sebagai upaya meningkatkan hubungan dagang dengan Amerika Latin dan Karibia, Kementerian Luar Negeri akan mengadakan forum bisnis pada 15 Oktober 2019. Forum tersebut nantinya akan mempertemukan para pebisnis dari setiap negara.
“Meski berpotensi, namun memang masih ada hambatan perdagangan yang dihadapi. Baik hambatan tarif maupun nontarif. Untuk itu, selain forum bisnis, pemerintah juga akan terus berupaya mengadakan perundingan guna membahas perjanjian dagang agar hambatan dapat diminimalisir,” ujar Silvy.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform On Economics (CORE) Muhammad Faisal menyampaikan hal senada. Menurutnya, hambatan terbesar para eksportir Indonesia di wilayah Amerika Latin dan Karibia adalah persoalan jarak yang membuat biaya logistik semakin tinggi.
“Untuk menyiasati tingginya biaya logistik, kita dapat menjajaki produk impor setiap negara. Selama ini, produk ekspor kita masih didominasi oleh alas kaki, otomotif, dan produk turunan karet,” kata Faisal.
Padahal, masih banyak produk yang berpotensi untuk diekspor, misalnya minyak kelapa sawit mentah dan turunannya, kain sutra, cokelat, hingga kayu (furniture). Maka, penting untuk mengetahui kebutuhan di kawasan Amerika Latin dan Karibia agar produk yang diekspor dapat tetap berdaya saing. (SHARON PATRICIA)