Benda Bersejarah Diduga Terkait Konservasi Air Ditemukan di Sleman
Badan Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta mengambil dua buah jaladwara dari pekarangan rumah warga di Dusun Salam, Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, Selasa (26/3/2019). Keberadaannya memberikan bukti tingginya penghargaan manusia tempo dulu melindungi sumber air di sekitarnya.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Badan Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta mengambil dua jaladwara dari pekarangan rumah warga Dusun Salam, Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, Sleman, Senin (25/3/2019). Keberadaan benda tersebut memberikan bukti tingginya penghargaan manusia tempo dulu melindungi sumber air di sekitarnya.
Jaladwara adalah benda purbakala yang berfungsi sebagai pancuran air. Wujudnya menyerupai hewan yang memiliki lubang air kecil. Benda itu diperkirakan dibuat pada abad ke-7 atau ke-8.
Kedua jaladwara itu ditemukan di pekarangan rumah Sukadi (48) di Dusun Salam, yang berbatasan dengan aliran Sungai Opak, Senin (25/3). Letak pekarangannya hanya berjarak sekitar 12-14 kilometer dari Puncak Gunung Merapi. Keduanya berukuran sepanjang 40-45 sentimeter (cm), lebar kurang lebih 20 cm, dan tinggi sekitar 40 cm. Saat ini, benda tersebut disimpan di Penampungan Benda Cagar Budaya Turi, Sleman.
”Dari dulu hanya tergeletak di pekarangan saja. Sejak masih kecil, saya sudah lihat benda itu di pekarangan. Tidak ada yang memindahkan ke mana-mana. Hanya dibiarkan saja. Memang dari awal sudah ada di atas permukaan tanah,” kata Sukadi, Selasa (26/3).
Masih terkait dengan sumber air, sekitar 200 meter dari lokasi penemuan jaladwara, tepatnya di Dusun Duwet, Desa Wukirsari, ditemukan pula batu yang diduga berasal dari struktur candi. Lokasi penemuannya berada di salah satu titik mata air di dusun tersebut. Batu-batu itu berserakan dekat kolam ikan milik warga. Jumlahnya delapan buah dengan panjang 20-50 cm.
Budi Santoso (38), warga Dusun Duwet, mengatakan, bebatuan itu ditemukan saat menggali tanah untuk membuat kolam ikan delapan tahun lalu. Ada batuan yang masih utuh. Namun, ada pula yang sudah pecah sebagian. Saat ini, bebatuan berbentuk persegi panjang itu dibiarkan tergeletak di dekat lokasi kolam ikan.
”Tidak hanya di lokasi ini. Warga dusun, jika menggali tanah, kadang-kadang juga ada yang menemukan batu-batu seperti ini. Tetangga saya juga pernah menemukan benda mirip arca. Dia meletakannya di halaman rumahnya, tapi sekarang hilang tidak tahu ke mana,” kata Budi.
Terkait kedua penemuan itu, Kepala Unit Penyelamatan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Badan Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta (BPCB DIY) Muhammad Taufik mengatakan, jaladwara ditemukan di pekarangan warga yang berada di pinggir Sungai Opak. Kemungkinan keberadaannya dibawa aliran sungai. Secara keseluruhan, mungkin bukan benar-benar berasal dari tempat itu.
Sementara terkait batuan di dekat kolam warga, Taufik menduga, sebelumnya terdapat situs candi di kawasan tersebut. Hal itu diperkuat dengan lokasi penemuan batu di dekat mata air dari dusun itu. Diduga ukuran candinya kecil. Ia memperkirakan, ukurannya hanya sebesar Candi Kalasan, luasnya 45 x 45 meter.
”Besar dugaan di sana ada candi. Candi biasanya dibangun di dekat sumber air. Masyarakat juga mereka sering menemukan (batuan candi) saat menggali tanah,” kata Taufik. Dugaan itu diperkuat inventarisasi benda cagar budaya BPCB DIY tahun 1980. Ada yoni di wilayah tersebut. Benda itu merupakan komponen penting yang selalu dikaitkan dengan keberadaan candi.
Akan tetapi, Taufik mengungkapkan, pihaknya tidak akan mengeskavasi di atas lokasi temuan-temuan tersebut. Alasannya, benda cagar budaya yang ditemukan itu jumlahnya tidak banyak. Selain itu, telah dibangun juga permukiman serta ada aktivitas perekonomian warga.
”Kami hanya mendokumentasi semua temuannya. Titik koordinat dari lokasi temuan itu juga sudah kami rekam. Ini merupakan bentuk pelestarian menggunakan metode penyelamatkan tinggalan cagar budaya melalui perekaman data (preserved by record),” kata Taufik.