Jika Optimal Beroperasi, MRT Berpotensi Tekan Emisi
JAKARTA, KOMPAS — Moda raya terpadu (MRT) berpotensi menekan kemacetan dan emisi karbon dioksida selama dapat difungsikan maksimal dalam mengalihkan pengguna kendaraan pribadi. Potensi pengurangan emisi itu mencapai 325.580 ton per tahun dengan asumsi MRT berhasil mengurangi pengguna kendaraan pribadi sebanyak 420.000 orang per hari. Namun, saat fungsi itu tak maksimal, MRT justru akan memperburuk emisi Jakarta.
Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel Ahmad Safrudin mengatakan, dari simulasi perhitungan, penurunan emisi sebesar 325.580 ton terjadi saat MRT mampu mengalihkan pengguna kendaraan pribadi sebanyak 420.000 orang per hari. Selama ini, emisi dari kendaraan pribadi yang dihasilkan di jalur Lebak Bulus-Bundaran Hotel Indonesia diperkirakan sebesar 411.264 ton per tahun.
”Potensi menurunkan emisi sangat besar selama MRT mampu mengalihkan pengguna kendaraan pribadi secara optimal,” katanya di Jakarta, Senin (25/3/2019).
Namun, saat tak berfungsi optimal, MRT justru akan memperburuk emisi karbon dioksida Jakarta. Hal ini karena dalam pengoperasiannya, MRT menggunakan listrik yang masih diproduksi dengan diesel dan batubara. Emisi karbon dioksida dari pengoperasian MRT ini dihitung sebesar 85.680 ton per tahun.
”Sebab, MRT ini isi tidak isi tetap jalan dan menghasilkan emisi,” kata Safrudin.
Sebab, MRT ini isi tidak isi tetap jalan dan menghasilkan emisi.
Pihak MRT menargetkan pengguna sebanyak 65.000 orang per hari pada pengoperasian tahun pertama ini. Namun, sejauh ini belum ada target pengalihan kendaraan pribadi.
Dengan asumsi target tahun pertama itu diperoleh dari peralihan kendaraan pribadi, MRT justru masih menambah emisi karbon dioksida sebesar sekitar 53.856 ton per tahun.
Jumlah ini diperoleh dari pengurangan emisi MRT sebesar 85.580 ton per tahun dengan emisi yang berhasil ditekan dari pengguna kendaraan pribadi yang beralih sebesar maksimal 31.824 ton per tahun. Jumlah emisi itu terdiri dari emisi sepeda motor 11.934 ton per tahun dan mobil 11.890 ton per tahun.
Menurut Safrudin, hitungan emisi ini baru setimbang saat MRT mampu mengalihkan pengguna kendaraan pribadi minimal 87.500 orang per hari. ”Dengan jumlah ini, baru emisi yang dihasilkan MRT setara dengan emisi yang berhasil ditekan dari pengguna kendaraan pribadi yang beralih,” katanya.
Pembatasan kendaraan
Safrudin mengaku tak optimistis MRT bisa mengurangi penggunaan kendaraan pribadi selama tidak ada kebijakan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi dari pemerintah. Selama ini, kendati sangat diminati warga, baik KRL maupun Transjakarta pun dinilai belum berhasil mengurangi penggunaan kendaraan pribadi di Jakarta.
”Dari sejumlah studi, hanya sekitar 5 persen pengguna kendaraan pribadi yang beralih. Sebagian besar pengguna KRL dan Transjakarta juga orang-orang yang selama ini memang pengguna transportasi umum yang beralih ke moda itu,” katanya.
Senada dengan itu, Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) menyampaikan, pembatasan kendaraan pribadi dinilai sebagai kunci untuk menekan penggunaan pribadi dan akhirnya bisa mengurangi kemacetan.
Direktur ITDP Indonesia Yoga Adiwinarto mengatakan, pembatasan kendaraan pribadi yang paling mudah dan memungkinkan saat ini adalah pembatasan parkir.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat memberlakukannya dengan membuat peraturan rasionalisasi tarif parkir, yaitu dengan menaikkan tarif parkir hingga membatasi ketersediaan lahan parkir di satu kawasan dengan menawarkan insentif kepada pengelola gedung parkir.
”Di sejumlah negara lain sudah terbukti. Hanya kebijakan pembatasan kendaraan pribadi yang bisa mengurangi kemacetan. Penyediaan moda transportasi umum massal bukan bertujuan untuk mengurangi kemacetan, melainkan menyediakan solusi alternatif pilihan untuk mobilitas warga. Dua kebijakan ini adalah dua sisi mata uang yang tak bisa dilepaskan satu sama lain,” kata Yoga.
Selain pembatasan parkir, kebijakan pembatasan kendaraan pribadi dengan transportation demand management (TDM) adalah jalan berbayar (ERP) dan kebijakan ganjil genap yang diberlakukan per kawasan dalam waktu 24 jam, tidak dalam satu ruas dalam beberapa jam saja sehari.
Saat ini, ruang parkir di Jakarta dinilai masih sangat banyak. Di ruas Jalan Jenderal Sudirman-MH Thamrin dari Bundaran Senayan hingga Bundaran Patung Kuda Arjuna Wijaya saja diperkirakan ada 38.000-65.000 ruang parkir mobil.
Sementara kapasitas maksimal ruas jalan itu hanya 4.500 kendaraan per jam. Artinya, dengan jumlah ruang parkir sebanyak itu, arus kendaraan pada puncak jam macet diperkirakan sekitar 13.000 mobil per jam. ”Kenapa ruas itu macet terus di jam puncak, ya, itu karena kantong parkir lebih dari volume jalan yang ada,” katanya.
Selain ketersediaan lahan parkir yang berlimpah, tarif parkir di Jakarta juga sangat murah. Bahkan, banyak kantor memberikan fasilitas tarif parkir gratis untuk karyawannya.
Wakil Direktur ITDP Indonesia Faela Sufa mengatakan, kebijakan pembatasan parkir saja sebenarnya sudah memadai untuk membatasi penggunaan kendaraan pribadi. ”Pengguna kendaraan pribadi ini sudah terdorong untuk pindah ke transportasi umum kalau parkirnya susah,” katanya.
Kenaikan tarif parkir yang pajaknya masuk ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ini justru bisa dimanfaatkan untuk menambah moda transportasi publik Jakarta. Untuk itu, diperlukan restrukturisasi dinas yang mengelola parkir.
Integrasi tarif
Yoga mengatakan, integrasi seamless mobility juga mutlak dilakukan untuk mendorong orang menggunakan transportasi umum massal itu. Integrasi ini baik dari sisi konektivitas dengan transportasi umum massal lain maupun dari sisi tarif.
Dengan kisaran tarif Rp 6.000-Rp 15.000 per perjalanan, ongkos MRT yang tak terintegrasi dengan angkutan lainnya akan tetap relatif mahal karena penumpang harus membayar lagi untuk moda transportasi lanjutan, baik menuju stasiun MRT maupun sampai ke tempat tujuan. ”Integrasi jangan hanya di mulut saja, tetapi harus betul-betul terwujud, baik dari tarif dan konektivitas maupun sampai ke tempat tujuan,” katanya.
Yoga menambahkan, transportasi umum massal berbasis rel sangat vital untuk Jakarta karena kapasitasnya yang besar. Namun, keberadaannya juga harus ditunjang oleh transportasi massal umum berbasis jalan.
Oleh karena itu, pengembangan angkutan umum berbasis jalan, seperti Transjakarta dengan Jak Lingko, pun tak bisa ditinggalkan. Selama ini, angkutan umum berbasis jalan sudah terbukti paling efektif untuk Jakarta. Biaya investasi dan operasionalnya relatif lebih murah daripada angkutan berbasis rel.
Selain itu, pengembangan daya jangkau angkutan umum berbasis jalan juga lebih mudah. Jadi, dalam satu periode yang sama, daya jangkaunya bertambah jauh lebih luas dari pengembangan transportasi berbasis rel.
Sebagai perbandingan, kata Yoga, Transjakarta sejak beroperasi pada 2004 hingga 2019 ini mempunyai jangkauan 466 kilometer atau ada penambahan sekitar 14 kilometer per tahun.
Dari sisi keterangkutan, selama 15 tahun, Transjakarta mengangkut lebih kurang 1,4 miliar penumpang. Saat ini, keterangkutan Transjakarta sekitar 700.000 penumpang per hari.
Untuk MRT, sejak pertama kali direncanakan pada 2004 hingga terealisasi 2019, pengembangan jalur tercapai 15,7 kilometer. Sementara target penumpang MRT pada tahun pertama 65.000 orang per hari. Tahun kedua ditargetkan 91.000 penumpang per hari, sedangkan tahun ketiga 117.000 penumpang per hari.
Yoga mengatakan, hal ini membuktikan bahwa dari sisi nilai investasi dan efektivitas keterangkutan, transportasi umum massal berbasis jalan masih lebih efektif untuk diterapkan di Jakarta. Meski demikian, transportasi massal berbasis rel juga tetap harus dikembangkan.