JAKARTA, KOMPAS — Para pemangku kebijakan sepakat untuk membatasi bahkan melarang gim-gim yang nyata-nyata berdampak negatif kepada penggunanya. Namun, lebih lanjut mengenai hal itu, termasuk gim apa saja yang dibatasi atau dilarang, masih perlu dibahas lebih dalam.
Adanya kata sepakat itu muncul saat para pemangku kebijakan bertemu dalam diskusi kelompok terarah (FGD) yang digelar Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jakarta, Selasa (26/3/2019). Mereka di antaranya perwakilan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), psikolog, Asosiasi e-Sport Indonesia (IeSPA), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Kantor Staf Presiden.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni’am Sholeh mengemukakan, dalam FGD, peserta sepakat perlu ada pembatasan usia, konten, waktu, dan dampak yang ditimbulkan oleh gim terhadap pengguna.
Selain pembatasan, perlu juga ada pelarangan terhadap gim yang mengandung konten pornografi, perjudian, perilaku seksual menyimpang, dan konten yang terlarang secara agama ataupun peraturan perundang-undangan.
”KPAI tadi menunjukkan kasus dampak negatif gim. Ada gim tonjok guru dan siswanya benaran menonjok gurunya. Itu sekadar gambaran, memang ada gim negatif yang berdampak negatif kepada penggunanya. Untuk hal yang seperti itu, kami sepakat memberikan pembatasan dan pelarangan,” kata Ni’am seusai FGD yang berlangsung tertutup di kantor MUI.
Isu terkait dengan gim hangat diperbincangkan beberapa pekan terakhir, terutama sejak gim perang PlayerUnknown’s Battlegrounds atau PUBG dikaitkan dengan aksi terorisme di Selandia Baru yang menewaskan 49 orang.
Selain itu, MUI Jawa Barat juga telah mencanangkan fatwa haram terhadap gim PUBG sebagai antisipasi dampak negatif gim itu.
Menurut Ni’am, sebagai produk budaya, gim memiliki sisi positif dan negatif. Berangkat dari hal itu, peserta FGD sepakat untuk mengoptimalkan sisi positif gim dan mencegah dampak negatifnya. Salah satu pilihan untuk mengoptimasi sisi positif gim dengan menganalisasinya melalui IeSPA.
Dalam kesempatan itu, Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI juga mengusulkan pengkajian ulang atas Peraturan Menteri Kominfo Nomor 11 Tahun 2016 tentang Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik guna mengoptimasi pembangunan kesadaran publik di ruang siber.
Ni’am menuturkan, FGD baru membahas gim secara umum dan belum ada pendataan terhadap gim yang akan dibatasi ataupun dilarang. Hasil FGD akan menjadi referensi bagi Komisi Fatwa MUI di rapat internal dalam mengambil keputusan.
”Apakah nanti akan ada fatwa atau penerbitan peraturan perundang-undangan, sangat terkait dengan pendalaman di Komisi Fatwa,” kata Ni’am.
Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kemkominfo Semuel Pangerapan mengatakan, hasil FGD itu akan didiskusikan lebih lanjut dalam pertemuan-pertemuan berikutnya. Dalam waktu dekat, Kemkominfo juga akan menemui perwakilan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk mendapatkan masukan.
Semuel melanjutkan, dalam FGD belum ditentukan batasan-batasan gim yang dianggap mengandung unsur negatif.
”Definisi lebih lengkap belum, tetapi kami sudah mengidentifikasi apa saja yang punya dampak negatif,” kata Semuel.
Ketua Umum IeSPA Eddy Lim mendukung pengaturan terhadap gim bermuatan negatif, seperti kekerasan dan pornografi. Namun, harus ada kajian lebih lanjut terhadap gim-gim itu. Menurut Lim, gim yang dipertandingkan di e-sport tidak ada yang mengandung kekerasan dan berimplikasi negatif.
”Gim yang ada di nomor e-sport diutamakan yang membutuhkan strategi,” kata Lim.
Psikolog Reza Indragiri menambahkan, setidaknya ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam pengaturan gim, yaitu konten, usia pemain, durasi bermain, dan pengaruh terhadap hilangnya minat pada kegiatan-kegiatan positif lainnya. (YOLA SASTRA)