Kemiskinan dan Patriarkat Perlebar Kesenjangan Masyarakat
JAKARTA, KOMPAS -- Kesenjangan masih menjadi persoalan dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDG\'s, terutama di wilayah tertinggal. Kondisi itu, antara lain dipicu oleh kemiskinan dan budaya patriarkat yang masih kental di tengah masyarakat.
Koordinator Litbang Sekretariat Nasional Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Farida Indriani di Jakarta, Selasa (26/3/2019), mengatakan, kemiskinan dan budaya patriakat punya korelasi dalam memicu kesenjangan sosial. Hal itu tergambar dari hasil analisis tentang kemiskinan dan kesenjangan gender di Kabupaten Dompu (Nusa Tenggara Barat) dan Kabupaten Timor Tengah Selatan (Nusa Tenggara Timur).
"Ketika kemiskinan dan budaya patriarkat bergabung, akan semakin memicu kesenjangan, baik antargender maupun antarkelompok masyarakat. Untuk mengatasinya, kemiskinan mesti dikurangi dan budaya patriarkat harus lebih moderat," kata Farida di sela-sela acara bincang-bincang "Pencapaian SDG\'s dan Analisa Kesenjangan Gender di Kabupaten Dompu, NTB dan Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT".
Analisis KPI yang bekerja sama dengan Infid, Kementerian Sosial, dan Oxfam, itu, dilakukan tahun 2017 dan 2018. Datanya bersumber, antara lain dari Badan Pusat Statistik (BPS), dinas terkait, badan perencanaan pembangunan daerah, dan masyarakat. Analisis fokus pada tujuan pertama SDG\'s, mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk di manapun dan tujuan kelima, mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan.
Dalam isu kesetaraan gender, keterwakilan perempuan dalam ranah eksekutif dan legislatif masih belum setara. Di Dompu, keterwakilan perempuan dalam eksekutif hanya 20 persen, sedangkan di Timor Tengah Selatan baru 42,8 persen.
Adapun, dalam legislatif, keterwakilan perempuan Dompu baru 10 persen (tiga orang) dan Timor Tengah Selatan sebesar 20 persen (lima orang). Padahal, target keterwakilan perempuan dalam legislatif minimal 30 persen. Meskipun caleg perempuan mulai bermunculan, kata Farida, mereka belum tentu menjadi pilihan.
Persoalan lainnya adalah tingginya tingkat perkawinan anak (kurang dari 18 tahun). Di Timor Tengah Selatan, tingkat perkawinan anak berkisar 20-21 persen, sedangkan di Dompu, angkanya mencapai 27 persen. Angka itu belum termasuk perkawinan yang tidak tercatat secara resmi.
"Kebanyakan perkawinan anak karena faktor ekonomi, agama, dan tradisi. Dengan segera menikahkan anak perempuan, beban orangtua akan berkurang. Menikah muda juga dianggap menghindarkan anak dari zina. Ada pula yang segera menikahkan anak agar tidak pergi ke mana-mana karena sudah pasti dia akan tinggal bersama suami," jelas Farida.
Selain itu, isu sunat perempuan dan tenaga kerja migran turut melengkapi persoalan gender di Dompu dan Timor Tengah Selatan. Keduanya juga tidak terlepas dari kemiskinan dan budaya patriarkat.
Perlindungan sosial
Sementara itu, dalam isu pengentasan kemiskinan, program perlindungan sosial dan peningkatan ekonomi masyarakat belum berjalan optimal. Berdasarkan data BPS 2018, tingkat kemiskinan di Timor Tengah Selatan sebesar 28,06 persen dan Dompu sebesar 12,40 persen. Adapun jumlah penduduk miskin secara Nasional 9,66 persen.
Dalam program perlindungan sosial, masyarakat Timor Tengah Selatan kesulitan dalam mengakses karena sebagian besar penduduk belum memiliki Kartu Tanda Penduduk Elektronik dan Kartu Keluarga. Mereka sulit mengurus identitas kependudukan karena jauh dari ibukota sehingga membebani masyarakat. Pemerintah daerah, kata Farida, tengah mengupayakan pendataan di tingkat desa.
Di Dompu, masih ditemukan kasus penerima program perlindungan sosial yang tidak tepat sasaran. Sementara itu, dalam program peningkatan perekonomian masyarakat, seperti penanaman komoditas jagung memicu persoalan lain. Meskipun perekonomian meningkat, muncul dampak ekologi dari program itu karena pembukaan lahan di lereng bukit dan gunung. Akibatnya, ketika kemarau tanah menjadi lebih kering, sedangkan banjir menjadi lebih dalam.
Keterlibatan
Asisten Manajer Pilar Pembangunan Sosial Sekretariat SDG\'s Bappenas Khairanis Rahmanda Irina mengapresiasi analisis yang dilakukan oleh KPI. Laporan itu menjadi masukan besar bagi pemerintah dalam membuat laporan tentang capaian SDG\'s. "Laporan KPI menjadi nutrisi tambahan, memperkaya, dan referensi bagi pemerintah dalam membuat laporan SDG\'s. Laporan ini sesuai dengan kondisi di lapangan," kata Rahma.
Rahma mendorong organisasi masyarakat sipil ataupun pihak lainnya bisa melakukan analisis serupa di daerah lainnya. Dalam mencapai tujuan SDG\'s, dibutuhkan keterlibatan berbagai pihak, antara lain pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, dunia usaha, dan masyarakat.
Farida menambahkan, KPI telah membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Organisasi Kemasyarakatan di Dompu dan Timor Tengah Selatan sebagai tindak lanjut. Pokja itu akan melakukan pemantauan SDG\'s di daerah. Diharapkan Pokja dapat bekerja sama dengan Bappeda dan dinas terkait untuk mengurangi kesenjangan di masyarakat. KPI, kata Farida, siap membantu pemda untuk mencapai SDG\'s.
Koordinator Advokasi Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan (Kapal Perempuan) Justin Christina Galatik mendorong pemerintah untuk menjadikan hasil analisis KPI sebagai basis data dan analisis dalam membuat perencanaan program pembangunan, kebijakan, dan penganggaran untuk mengatasi isu-isu kemiskinan dan kesetaraan gender. Setidaknya, ada komitmen konkret dari pemerintah dalam bekerja sama dengan kelompok kerja/forum multipihak yang sudah dibentuk di tingkat kabupaten dan yang dikoordinisikan oleh KPI secara keseluruhan.
Justin menambahkan, membangun komunikasi dan koordinasi dengan pemerintah juga menjadi penting. Dengan demikian, ada komitmen konkret pemerintah untuk mendukung rencana-rencana yang sudah dibuat oleh kelompok kerja sebagai tindak lanjut dari hasil analisis itu, terutama yang terkait dengan hasil analisis tujuan pertama dan kelima SDG\'s.
"Dapat kita bayangkan, jika kerja sama multipihak ini berjalan, tujuan SDG\'s akan tercapai dan kesenjangan gender di dua kabupaten itu akan teratasi," ujar Justin. (YOLA SASTRA)