Netralitas dan Independensi Jadi Prinsip Utama
JAKARTA, KOMPAS - Netralitas dan independensi menjadi prinsip-prinsip utama yang mesti dijalankan lembaga-lembaga pemantau Pemilu 2019. Hal ini berlaku bagi pemantau pemilu dari dalam maupun dari luar negeri.
Demikian disampaikan anggota Badan Pengawas Pemilu M. Afifuddin, Selasa (26/3/2019) petang usai diskusi publik dengan tema “Pemantauan dan Upaya Membangun Integritas Pemilu 2019," di Gedung Bawaslu, Jakarta. Menurut Afif, selain pemantau pemilu dari dalam negeri, kehadiran pemantau pemilu dari luar negeri merupakan hal biasa dan lumrah terjadi dalam penyelenggaraan pemilu.
Afif menandaskan, kehadiran pemantau pemilu dari luar negeri sebagai situasi natural serta tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sebab pada saat-saat tertentu, sebagian lembaga pemantau pemilu dari Indonesia juga berangkat ke sejumlah negara lain untuk melakukan pemantauan.
Para pemantau pemilu dari luar negeri ini sebelumnya telah memiliki kompetensi dan pengalaman sebagai pemantau pemilu di negara lain, dan beroleh visa sebagai pemantau pemilu dari perwakilan pemerintah Republik Indonesia di negara lain. Selain itu, memenuhi tata cara dalam melakukan pemantauan sesuai dengan aturan undang-undang.
Prinsip-prinsip dasar tersebut diharakan mewujud dalam praktik di lapangan. Misalnya saja,imbuh Afif, penafsiran yang tidak boleh dilakukan semena-mena terkait penyelenggaraan pemilu, soal kedaulatan, dan sebagainya.
Afif menyebutkan, kedaulatan dan aturan lokal di Indonesia mesti dihormati pemantau pemilu. Karena itulah, sejumlah hal tidak bisa dilakukan begitu saja, misalnya dengan membandingkan aturan terkait praktik demokrasi di Indonesia dan aturan serupa di negara asal salah satu lembaga pemantau pemilu.
Pada kesempatan itu, Afif juga memaparkan bahwa sejauh ini telah ada 51 lembaga pemantau pemilu yang telah beroleh sertifikat akreditasi. Masing-masing 49 lembaga pemantau pemilu dalam negeri dan dua lembaga pemantau pemilu dari luar negeri.
Dua lembaga pemantau pemilu dari luar negeri tersebut masing-masing adalah Asian Democracy Network dan Asian Network for Free Elections yang bersifat konsorsium. Afif menyebtkan, keterlibatan lembaga pemantau asing tersebut cenderung bersifat jangka pendek.
Selain itu, imbuh Afif, sementara ini pula masih ada sepuluh lembaga pemantau lain dari dalam negeri yang tengah dicek kelengkapannya sebelum bisa diberikan akreditasi. Pendaftaran guna beroleh akreditasi sebagai pemantau pemilu ini masih bisa dilakukan hingga tujuh hari sebelum pemungutan suara.
Afif menambahkan bahwa jumlah lembaga pemantau pemilu yang cenderung bertambah dibandingkan Pemilu 2014 merupakan indikasi positif keterlibatan masyarakat dalam proses demokrasi. “Ini semangat positif untuk sama-sama menjaga kualitas pemilu,” ujar Afif.
Dalam diskusi yang dihadiri pula oleh Manajer Pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPRR), Alwan Riantoby, Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, Kaka Suminta, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini, dan Direktur Netgrit Sigit Pamungkas ittu dibahas juga mengenai kecenderungan turunnya keikutsertaan lembaga pemantau pemilu dari luar negeri. Titi mengatakan bahwa setelah Pemilu 2004, ada penururan yang relatif drastis terkait animo lembaga pemantau asing.
Menurut Titi, hal itu dikarenakan anggapan bahwa masyarakat sipil di Indonesia telah bergerak sedemikian dinamisnya sehingga dianggap mampu mengawal proses politik dalam praktik pemilu. Adapun menurut Sigit, demokrasi elektoral di Indonesia sangat kuat, diantaranya dengan keberadaan pengawas pemilu secara terstruktur hingga jenjang TPS.
Hal ini, imbuh Sigit, tidak terjadi di negara lain, dan secara internasional hal tersebut diakui sebagai suatu pencapaian. “Jadi kalau kita (sebagian warga Indonesia) ragu (terhadap penyelenggaraan pemilu), maka ini soal tersendiri,” sebut Sigit.