JAKARTA, KOMPAS — Para pengusaha ritel, baik yang menggunakan sistem online (dalam jaringan/daring) maupun offline (luar jaringan/luring), tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Perlu ada strategi penguatan industri dan regulasi yang adil agar dapat tetap bertahan bahkan meningkat dalam menghadapi perlambatan ekonomi global.
Perkembangan usaha ritel, salah satunya dapat dilihat dari pertumbuhan barang konsumsi dengan perputaran omzet yang cepat (fast moving consumer goods/FMCG). Berdasarkan data riset dari Nielsen (2018), pertumbuhan FMCG selama kurun waktu tiga tahun terakhir, yaitu 7 persen (2016), 2,5 persen (2017), dan 1 persen (2018).
”Pertumbuhan FMCG selama kurun waktu tahun 2016-2018 memang menurun. Namun, jika diperhatikan lebih rinci, pertumbuhan FMCG terlihat meningkat sejak April 2018,” ujar Direktur Bina Usaha dan Pelaku Distribusi Kementerian Perdagangan I Gusti Ketut Astawa, saat dihubungi Kompas, Selasa (26/3/2019).
Menurut Ketut, peningkatan itu didorong oleh adanya gaji ke-13 dan 14 PNS, konsumsi masyarakat selama musim Lebaran, dan kegiatan impor yang meningkat. Penurunan pada bulan Juli 2018 merupakan hal yang normal dan sudah menjadi siklus tahunan karena uang masyarakat sudah dibelanjakan selama musim Lebaran.
Meski demikian, Indonesia masih memiliki peluang untuk menguatkan kembali pertumbuhan FMCG karena jumlah penduduk Indonesia sangat besar, yaitu 261,9 juta jiwa (BPS, 2017). Penduduk Indonesia juga didukung oleh pendapatan per kapita sebesar 3.876,8 dollar AS (BPS, 2018) dan persentase penduduk kelas ekonomi menengah yang sekitar 40 persen (BPS, 2017).
Dalam upaya memperbaiki usaha ritel, pemerintah berupaya meningkatkan kualitas produk dan inovasi pelayanan prima. Selain itu, melakukan pembinaan kepada ritel dengan mendorong pembentukan unit kompetensi, pelaksanaan Hari Belanja Diskon Indonesia secara berkala, dan membangun pola pelayanan perizinan yang mudah dan cepat melalui online single submission (OSS).
Tantangan
Di sisi lain, Ketut menilai, ada tiga tantangan yang dihadapi pengusaha ritel, mulai dari perubahan pola atau cara konsumsi masyarakat, kualitas produk dalam negeri, serta persaingan antar-sesama peritel luring dan daring.
Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta, memang ada perubahan dan perlambatan perkembangan usaha ritel karena berubahnya perilaku konsumen serta imbas perang dagang antara Amerika Serikat dan China.
Namun, yang perlu menjadi perhatian bersama adalah perubahan perilaku konsumen yang saat ini lebih cenderung berbelanja secara daring.
Sementara imbas dari perang dagang adalah keadaan yang dapat berubah seiring waktu berjalan.
”Artinya, mau bagaimanapun situasi ekonominya, pemerintah harus tetap menjaga dan menjamin agar suplai kebutuhan masyarakat tetap berasal dari dalam negeri. Meskipun usaha ritel luring mengecil, usaha ritel daring yang semakin berkembang harus tetap disuplai dengan produk dalam negeri,” kata Tutum.
Dia melanjutkan, perubahan perilaku konsumsi tidak dapat dihindari. Para pengusaha luring harus beradaptasi dengan keadaan ini. Namun, yang pasti yang akan pulih kembali adalah daya beli konsumen dan kekuatan ekonomi global. Maka, penguatan industri dan regulasi mutlak dipersiapkan dari sekarang.
”Kita harus memperkuat industri lokal agar mampu memproduksi kebutuhan masyarakat sehingga pasar tidak dikuasai barang impor. Selain itu, pemerintah juga harus menjamin untuk memberi ruang keadilan bagi setiap pelaku usaha. Jangan sampai ada pengusaha ritel yang dibebankan pajak, sementara yang lain tidak,” ujar Tutum. (SHARON PATRICIA)