Perempuan dengan HIV/AIDS Rentan Mengalami Kekerasan Ganda
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kondisi perempuan dengan HIV/AIDS atau memiliki suami yang terkena virus HIV membuat posisinya sangat rentan mengalami kekerasan seksual maupun kekerasan psiksis. Berada dalam budaya patriarki menjadikan para perempuan yang sebelumnya tidak terkena HIV/AIDS akhirnya terkena virus tersebut karena dilarang pasangannya untuk mengakses layanan HIV/AIDS.
“Kekerasan yang dialami perempuan yang didiagnosis HIV/AIDS lebih tinggi daripada perempuan umumnya. Selain rawan mengalami kekerasan seksual dari suami dengan HIV/AIDS sampai akhirnya terkena HIV/AIDS, di keluarga dan masyarakat perempuan juga mengalami kekerasan karena status HIV/AIDS,” ujar Belinda Hutapea, dari Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) pada Semiloka “Menuju Perlindungan Perempuan yang Lebih Komprehensif dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia”, Selasa (26/3/2019), di Jakarta.
Pada semiloka yang digelar Lembaga Bantuan Hukum APIK (Asosiasi Perempuan untuk Keadilan) dan sejumlah lembaga dalam rangka peringatan Hari Perempuan Internasional, terungkap saat didiagnosis HIV, perempuan lebih banyak mengalami kekerasan dari pasangan dan juga dari pihak lain. Kekerasan yang dialami oleh perempuan dengan HIV/AIDS sangat beragam dan dalam berbagai bentuk. Tidak terbatas pada kekerasan fisik, seksual, psikis, ekonomi, bentuk-bentuk diskriminasi dan sterilisasi yang dipaksakan juga dialami oleh perempuan dengan HIV/AIDS.
Belinda mengatakan, perempuan memiliki kerentanan atas HIV karena sejumlah faktor. Terhalangnya akses perempuan untuk mendapatkan layanan HIV/AIDS dan kekerasan terhadap perempuan merupakan faktor tidak langsung yang mempengaruhi peningkatan risiko HIV/AIDS.
“Kekerasan seksual sebagai faktor risiko langsung untuk penularan HIV. Risiko penularan dari insiden perkosaan tapi dapat meningkat pada kasus cedera genital. Risiko perempuan untuk terinfeksi HIV dari hubungan seks paksa juga dapat meningkat ketika hubungan seks terjadi berulang-ulang. Misalnya pada pekerja seks yang mengalami kekerasan berulang kali,” kata Benita.
Laporan polisi tidak berlanjut
Kendati mengalami berbagai kekerasan, para perempuan dengan HIV/AIDS, ketika melaporkan ke polisi cenderung mencabut laporannya karena alasan anak-anak masih kecil, tidak meneruskan kasusnya karena dianggap masalah keluarga, dan juga karena alasan biaya untuk visum.
“Ada juga yang tidak melakukan apa-apa, karena merasa masih cinta dengan pasangan, atau tidak melaporkan kekerasan yang dialaminya karena takut statusnya diketahui. Selain itu, tidak mencari bantuan medis atau psikolog karena tidak tahu informasi dan merasa bisa mengobati sendiri,” ujar Belinda.
Sementara, hingga kini tidak banyak paralegal yang mau memberikan advokasi kepada perempuan HIV yang menjadi korban kekerasan seksual dan kekerasan lainnya.
Wiendra menyatakan, jumlah kasus HIV yang ditemukan pada tahun 2018 sebanyak 46.649 kasus, terjadi pada 29.787 laki-laki dan 16.872 perempuan. Pada periode tahun 2008-2018 jumlah kasus HIV yang ditemukan sebanyak 313.180 kasus, terjadi pada laki-laki (191.292 kasus) dan perempuan (121.888 kasus).
Untuk menanggulangi HIV/AIDS akses pelayanan kesehatan terus dilakukan, yakni setiap perempuan dengan HIV/AIDS harus dapat mengakses pelayanan kesehatan untuk tes dan pengobatan, serta pasangan harus mendapat informasi untuk melakukan tes dan pengobatan, jika pasangan dinyatakan positif HIV. Selain itu tidak boleh ada tindakan kekerasan terhadap perempuan ketika mendapat status terinfeksi HIV/AIDS.
Direktur LBH APIK Siti Mazumah mengatakan, semiloka tersebut digelar untuk berbagi pengalaman dari berbagai institusi pemerintah dan masyarakat sipil, dalam melakukan pendampingan konseling serta penyedia layanan bagi perempuan korban kekeraasan terkait layanan bantuan hukum dan akses keadilan.
“Kami juga berharap semiloka ini dapat memperkuat kapasitas pendamping dan paralegal dalam memberikan layanan bantuan hukum dan akses kesehatan,” kata Mazumah.
Semiloka yang berlangsung dua hari tersebut menghadirkan sejumlah pembicara antara lain, Wiendra Waworuntu (Direktur Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan), Nafsiah Mboi (mantan Menteri Kesehatan, dan ahli kesehatan), Diah Sulastri Dewi (hakim Pengadilan Tinggi PT Tanjung Karang, dan anggota Pokja Perempuan dan Anak Mahkamah Agung). Hadir juga Dondy Sentya (Rule Of Law Advisor USAID/Indonesia DRG), Edi Rachmat (Perwakilan Kantor Kesehatan USAID), dan Kalla Finn (Chief Of Party Maju Project).