Realitas Sosial Perlu Jadi Sumber Pertimbangan Memahami Teks Keagamaan
Realitas sosial perlu dijadikan salah satu sumber pertimbangan memahami teks-teks keagamaan. Demikian pula refleksi kesetaraan gender dalam pandangan agama terkait posisi kaum perempuan untuk berhak mendapat perlakuan dan kedudukan yang sama.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Realitas sosial perlu dijadikan salah satu sumber pertimbangan memahami teks-teks keagamaan. Demikian pula refleksi kesetaraan jender dalam pandangan agama terkait posisi kaum perempuan untuk berhak mendapat perlakuan dan kedudukan yang sama.
Hal itu dikatakan KH Husein Muhammad (65) pada penganugerahannya sebagai doktor kehormatan (doctor honoris causa) oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, di Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (26/3/2019). Ia membacakan pidato berjudul ”Gender dalam Pendekatan Tafsir Maqashidi”.
Husein, salah satunya mengutip pandangan Nasr Hamid Abu-Zayd, seorang pemikir Islam kontemporer yang mengkritik pandangan konservatif. Menurut dia, pengabaian realitas karena mempertimbangkan teks yang statis dan konservatif hanya akan menjadikan teks sebagai legenda atau catatan sejarah.
Pengabaian realitas karena mempertimbangkan teks yang statis dan konservatif hanya akan menjadikan teks sebagai legenda atau catatan sejarah.
Dengan demikian, menurut Husein, pemahaman atas sebuah teks Al Quran atau teks-teks keagamaan yang lain seharusnya lebih ditekankan kepada aspek logika dan maksud dari teks-teks tersebut. Tidak semata-mata membaca bunyi literalnya.
”Realitas sosial dan kenyataan empiris sudah seharusnya jadi sumber pertimbangan dalam penafsiran. Selain dipikirkan dan dikaji logikanya, teks-teks keagamaan juga harus selalu didialogkan dengan fakta-fakta empiris yang sedang terjadi dan dihadapi,” ujarnya.
Dua aliran besar
Menurut Husein, berdasarkan pikiran-pikiran para ahli Islam dalam merespons isu-isu jender, ada dua aliran besar. Pertama yang berpendapat perempuan dan hubungannya dengan laki-laki adalah subordinat, sedangkan pendapat kedua memosisikannya setara.
”Menarik bahwa dua aliran besar ini mengajukan argumen keagamaan dari sumber yang sama, yaitu Al Qurān dan hadits Nabi, dua sumber paling otoritatif dalam sistem keagamaan kaum Muslimin,” ujar Husein.
Menurut dia, perbedaan pandangan ulama Islam dalam menyikapi isu-isu jender, bahkan isu-isu ketimpangan relasi sosial yang lain, terjadi antara lain akibat perbedaan cara memahami teks-teks suci. Cara memahami teks dalam tradisi Islam dikenal dengan dua istilah, yaitu ’tafsīr’ dan ’ta’wīl’.
”Secara ringkas dapat dikemukakan bahwa tafsir lebih berkaitan dengan ’riwayah’, informasi, nukilan atau sumber berita. Sementara ta’wil berkaitan dengan ’dirayah’ (pemahaman), isi atau substansi berita,” kata Husein.
Perempuan adalah makhluk yang juga memiliki kehormatan dan perlu diperlakukan adil. Kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama dan setara.
Husein menuturkan, perempuan dalam konteks peradaban patriarkis kerap menjadi sasaran awal, seperti pengaturan tubuhnya. Hal seperti itu harus dibebaskan. ”Perempuan adalah makhluk yang juga memiliki kehormatan dan perlu diperlakukan adil. Kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama dan setara,” ujarnya.
Tafsir maqashidi, dalam relasi jender, didasarkan pada cara pandang yang memanusiakan laki-laki dan perempuan. Seluruh produk tafsir terkait relasi ini, laki-laki dan perempuan, harus diarahkan menumbuhkan kesalingan dan kerja sama demi terciptanya segala kebaikan dan terhindarnya segala keburukan.
KH Husein Muhammad lahir di Cirebon, 9 Mei 1953, adalah cucu dari KH Syatori, pendiri pondok pesantren yang diasuhnya saat ini, Dar Al-Tauhid Arjawinangun. Ia merupakan salah seorang pendiri Puan Amal Hayati, Yayasan Rahima Jakarta, dan Fahmina Institute Cirebon.
Sejumlah karya tulis dalam bentuk buku yaitu Fiqh Perempuan, Refleksi Kyai atas Wacana Agama dan Gender (2001), Islam Agama Ramah Perempuan, Pembelaan Kiai Pesantren (2005), Spiritualitas Kemanusiaan, Perspektif Islam Pesantren (2005), dan lainnya.
Rektor UIN Walisongo, Muhibbin, mengatakan, dalam banyak hal, kaum perempuan kerap dijadikan pelengkap semata. Kehadiran perempuan kurang mendapat penghargaan dari masyarakat yang cenderung mengacu paham dan praktik paternalistik, sebuah kungkungan tradisi yang sudah mengakar.
”Salah satu ulama yang peduli terhadap kondisi perempuan itu yakni KH Husein Muhammad. Kami beharap nantinya banyak bermunculan pikiran yang berupaya mendudukkan makhluk Tuhan sebagaimana mestinya, tanpa dibatasi sekat jender dan lainnya,” kata Muhibbin.
Jadi inspirasi
Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar, yang menjadi bagian tim promotor, mengatakan, KH Husein Muhammad memberi inspirasi bagi dunia akademik dalam menjaga keistiqomahan antara tradisi daras dan ta’lif, belajar dan menulis.
Nasaruddin menilai, KH Husein Muhammad tak hanya berkutat pada teks, wacana, dan keilmuan an sich (dirinya sendiri), tetapi juga aktivis. ”Ia menggerakkan aktivisme sosial sebagai aktualisasi pemikiran dan gagasannya seputar isu jender dan HAM,” katanya.
Ia pun berharap penganugerahan doktor kehormatan kepada KH Husein Muhammad menjadi teladan bagi kaum intelektual, aktivis jender dan HAM, juga kiai-kiai beserta para santri serta generasi muda.
”Dedikasi ilmu dan gerakan sosial yang berbasis pada karya hasil ketekunan dan ketulusan untuk membangun kemanusiaan dapat berbuah pengakuan akademis,” ujarnya.
Penganugerahan doktor kehormatan kepada KH Husein Muhammad menjadi teladan bagi kaum intelektual, aktivis jender dan HAM, juga kiai-kiai beserta para santri dan generasi muda.
Dekan Fakultas Ushluddin dan Humaniora UIN Walisongo, Mukhsin Jamil, mengatakan, saat ini, kesetaraan jender sudah menjadi perhatian banyak kalangan. Hal itu, antara lain, karena didukung advokasi akademik melalui berbagai kajian.
Meningkatnya perhatian itu tak terlepas dari kemajuan dalam bidang Islamic Studies. ”Tantangan semakin kompleks. Dibutuhkan kajian-kajian komprehensif melalui pendekatan baru. Kini, Islamic Studies kian dinamis dan akan terus berkembang,” katanya.