Sejumlah pembaca setia harian Kompas datang memenuhi undangan minum teh bersama di ruang Redaksi, Lantai 5 Menara Kompas, Jalan Palmerah Selatan Nomor 21, Jakarta. Bincang santai pada sore hari, Selasa (26/3/2019), itu membahas seputar pengalaman unik pembaca dan harapan tentang Kompas pada masa depan.
Kompas mengundang sejumlah pembaca setianya untuk berbagi pengalaman selama mereka berlangganan harian ini. Redaksi Kompas pun berbagi cerita bagaimana menjaga independensi dan kredibilitas redaksi selama ini.
Terlebih seusai Kompas memublikasikan hasil survei elektabilitas calon presiden dan calon wakil presiden, berbagai reaksi bermunculan. Sejumlah penilaian dan keraguan akan obyektivitas Kompas pun muncul.
Pembaca yang diundang ngeteh dan makan nasi liwet di ruang Redaksi datang dari berbagai kalangan. Dari mereka yang sudah berlangganan Kompas sejak dari orangtuanya hingga yang baru mengenal koran ini sejak kuliah. Mereka juga datang dari berbagai profesi, ada artis seperti Sha Ine Febriyanti, komponis Ananda Sukarlan, pengusaha pendiri Rumah Makan Dapur Solo Swandani Kumarga, hingga pengamat perpajakan Yustinus Prastowo.
Yustinus sempat bercerita, sehari sebelum Kompas menerbitkan survei elektabilitas capres-cawapres, di grup Whatsapp pendukung capres petahana Joko Widodo memang muncul beragam reaksi. Saat hasil survei menunjukkan penurunan, Yustinus mengaku memang ada reaksi kecewa. Namun, menurut dirinya, sebagai orang yang percaya akan kredibilitas Kompas, hasil survei justru seharusnya menjadi peringatan dini bagi para pendukung Jokowi.
Menurut Yustinus, saat kekecewaan terhadap hasil survei Litbang Kompas kemudian direaksikan dengan berbagai kabar tak benar seputar independensi redaksi di berbagai media sosial, harian Kompas dinilai telah ”gagal” mendidik pembacanya.
”Ini pekerjaan rumah juga buat Kompas agar mampu mendidik pembacanya tak boleh sekadar percaya dengan kabar yang beredar di media sosial,” kata Yustinus.
Komponis Ananda Sukarlan mengaku kebiasaannya membaca Kompas termasuk unik. Selama menjadi pelanggan setia sejak usia belia, Kompas edisi Minggu adalah kesukaannya. Tulisan soal gaya hidup, kesenian, sastra, dan perjalanan merupakan rubrik yang paling ia nantikan.
Meskipun begitu, Ananda menyatakan, hubungannya dengan Kompas tak selalu berhias ”bulan purnama”. Adakalanya ia merasa kecewa tentang pemberitaan Kompas yang tidak sesuai ekspektasi atau berlawanan dengan yang diinginkannya.
”Saya merupakan salah satu pembaca yang sempat kecewa terhadap hasil survei Kompas tentang elektabilitas capres-cawapres,” kata Ananda.
Rasa kecewa yang serupa juga diungkapkan pendiri Rumah Makan Dapur Solo, Swandani Kumarga. Namun, pengalaman mengenal langsung beberapa wartawan Kompas membuat ia tetap percaya harian yang terbit sejak 54 tahun lalu itu masih memegang teguh prinsip profesionalitas.
”Wartawan Kompas enggak ada yang mau terima ’amplop’. Kalau dikasih makan, mereka juga ngeyel untuk bayar sendiri,” kata Swandani.
Ia berharap, Kompas tetap mempertahankan karakternya sebagai media yang membawa kesejukan. Di tengah suasana pemilihan presiden yang panas, Kompas diharapkan tetap setia pada tugasnya untuk membawa lentera amanat hati nurani rakyat.
Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo dan Pemimpin Redaksi Kompas Ninuk Mardiana Pambudy hadir pada acara itu. Mereka berdua turut berbagi kisah tentang lika-liku wartawan Kompas menghidupi semangat amanat hati nurani rakyat.
Dalam kesempatan itu, Budiman menjelaskan soal kultur Redaksi Kompas yang egalitarian. Posisi pemimpin redaksi bersifat primus interpares (yang pertama dari yang setara). Ia memastikan kebijakan redaksi merupakan produk kolektif, tidak ditentukan kecondongan politik individu redaksi.
Acara ngeteh sore hari itu diakhiri dengan makan nasi liwet bersama awak Redaksi Kompas secara lesehan yang sejak lama telah menjadi tradisi di Redaksi. Makanan digelar memanjang di atas lembaran daun pisang dan orang-orang duduk bersila makan bersama. (PANDU WIYOGA)