Stasiun MRT dengan Trotoar Belum Terintegrasi Baik
Penantian panjang warga Ibu Kota akan moda raya terpadu (MRT) akhirnya terwujud. Namun, seberapa baik integrasi transportasi berbasis rel tersebut dengan moda pendukungnya, seperti trotoar dan angkutan pengumpan?
Di sisi selatan Jakarta, berjarak satu stasiun dari Stasiun MRT Lebak Bulus, ada Stasiun MRT Fatmawati. Stasiun ini berada di jalur layang (elevated).
Jarak antara stasiun dan fasilitas umum, seperti Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati, sekitar 2,5 kilometer. Adapun jarak dengan pusat perbelanjaan Cilandak Town Square (Citos) sekitar 3,4 kilometer. Bagi warga Jakarta, MRT menjadi pilihan selain bus Transjakarta jurusan Blok M-Pondok Labu yang lebih dulu ada.
Namun, karena lokasinya di pinggir pintu keluar tol Pondok Pinang-TMII, situasi lalu lintas di sekitar stasiun MRT ini sangat padat. Turun dari stasiun, trotoar yang tersedia pun sangat sempit, hanya 1 meter hingga 1,5 meter. Saat dua orang berpapasan, pasti akan bersenggolan.
Pejalan kaki yang hendak menyeberang di perempatan Cilandak, yang merupakan perbatasan antaran Jalan RS Fatmawati dan Jalan TB Simatupang, juga harus sangat hati-hati sebab lalu lintas di perempatan tersebut sangat padat setiap saat.
Setelah menyeberang ke arah Jalan TB Simatupang, kondisi trotoar belum selebar dan sebagus di pusat kota. Trotoar masih model jadul, terbuat dari paving block. Beberapa paving block pun terlihat sudah lepas dan bolong-bolong.
Terkadang, trotoar itu digunakan untuk parkir kendaraan di depan toko atau perkantoran di seberang RSUP Fatmawati. Di depan RS Fatmawati, kondisi trotoar sudah cukup bagus. Namun, trotoar masih model lama yang tinggi dan dibatasi tembok besi.
Diokupasi
Untuk akses dari Stasiun Fatmawati menuju Cilandak Town Square (Citos), trotoar yang tersedia malah lebih memprihatinkan. Kondisi trotoar tidak terawat. Sejumlah halte justru diokupasi oleh pengojek dan dijadikan tempat ngetem angkutan umum.
Dengan kondisi trotoar yang belum terintegrasi dan sebagus di Jalan Sudirman-Thamrin, ojek online masih akan menjadi pilihan menggiurkan bagi pengguna angkutan umum. Apalagi, ditambah akses menyeberang dari Stasiun Fatmawati ke perempatan Cilandak yang tergolong sulit.
Koalisi Pejalan Kaki (KoPK) pernah melakukan tinjauan lapangan ke Stasiun Fatmawati. Hasilnya, semakin ke arah selatan, mulai Jalan Sisingamangaraja, Jalan Panglima Polim, Jalan Fatmawati, Jalan RA Kartini, hingga Lebak Bulus, kondisi trotoar menyempit dan tidak ramah bagi pejalan kaki.
Trotoar yang terbentang sepanjang 16 kilometer jalur MRT dari Lebak Bulus-Bundaran HI juga belum setara kualitasnya.
Dari pengamatan KoPK, bentuk dan kualitas trotoar di sepanjang jalur MRT bisa dibagi ke dalam tiga zona utama.
Zona 1 berada antara Stasiun Bundaran Hotel Indonesia dan Stasiun Senayan. Trotoar di zona ini bisa dikatakan ideal karena lebar, bagus, dilengkapi fasilitas untuk penyandang disabilitas, dan ramah bagi pejalan kaki. Trotoar dalam zona ini sering mendapatkan pujian.
Zona 2 membentang dari Bundaran Senayan-Jalan RS Fatmawati. Di zona 2, trotoar cukup luas dan lebar, tetapi tidak sebaik di zona 1.
”Setelah Bundaran Senayan ke selatan ke arah Blok M, trotoar semakin menyempit dan banyak terjadi pelanggaran, seperti sepeda motor naik ke trotoar saat macet. Yang paling parah itu, trotoar dari Stasiun Fatmawati ke Lebak Bulus. Di situ trotoarnya sempit, hanya sekitar satu-tiga langkah kaki, tinggi, dan tidak dilengkapi ramp,” ujar Sandy Apriliansyah dari KoPK.
Meskipun demikian, KoPK mengapresiasi pembangunan speed bump, yaitu semacam polisi tidur yang berfungsi untuk memperlambat kecepatan kendaraan di zona 2. Speed bump di mulut jalan ini sangat mendukung keselamatan pejalan kaki.
Di ujung Jalan RS Fatmawati yang berbatasan dengan Jalan TB Simatupang tidak ada akses trotoar sama sekali. Di sepanjang jalan itu sedang dibangun saluran drainase dan bagian atasnya masih dibiarkan menjadi lubang menganga. Pejalan kaki juga harus berdesakan dengan sepeda motor dan mobil.
”Masih ada 1 persen masalah, terutama soal fasilitas pendukung bagi pejalan kakinya. Seharusnya masalah ini diselesaikan terlebih dulu,” ujar Alfred Sitorus dari KoPK.
Kondisi paling parah berada di zona 3, yaitu Stasiun Fatmawati hingga Lebak Bulus. Di zona ini, kualitas trotoar sangat mengkhawatirkan secara fisik. Lebar trotoar di bawah Stasiun Fatmawati kurang dari 1 meter. Trotoar juga dibuat dengan desain tinggi tanpa ramp yang sangat tidak ramah pejalan kaki, terutama mereka yang berkebutuhan khusus, seperti ibu hamil, anak balita, lansia, dan penyandang disabilitas.
Trotoar dari Stasiun Fatmawati pun tidak terintegrasi dengan baik dengan stasiun terdekat, yaitu Stasiun Cipete Raya. Jika ingin berjalan kaki ke arah Stasiun Cipete Raya, pejalan kaki harus menyeberang cukup berbahaya di perempatan TB Simatupang.
Setelah itu, di Jalan RS Fatmawati yang berada dekat pintu keluar tol Fatmawati belum tersedia trotoar. Trotoar masih berbentuk lubang menganga karena digunakan untuk membangun saluran air. Kondisi ini terpantau sepanjang sekitar 1 kilometer hingga ke arah ITC Fatmawati.
”Sejak dulu sebelum ada MRT, kualitas trotoar di Jalan Fatmawati ujung yang berbatasan dengan TB Simatupang ini memang sudah buruk. Sekarang tambah parah karena ternyata malah tidak ada trotoar sama sekali,” tukas Sandy.
Perbaikan bertahap
Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta Hari Nugroho, Sabtu (2/3), mengatakan, penataan trotoar dengan konsep terbaru dan ideal memang baru bisa direalisasikan di Jalan Sudirman-Thamrin. Di jalan tersebut, trotoar bisa dibuat dengan lebar 4,5 meter, yaitu 1,5 meter untuk pejalan kaki, 1,5 meter untuk penyandang disabilitas, dan sisanya diberi bangku untuk istirahat.
Di lokasi lain, seperti jalur MRT ke arah selatan Sisingamangaraja-Fatmawati, lanjutnya, konsep yang sama belum bisa diterapkan karena trase jalan yang sempit.
”Dengan kondisi eksisting jalan yang tidak selebar di Sudirman-Thamrin, konsep ideal tidak bisa diterapkan. Akhirnya, Dinas Bina Marga membangun sesuai lahan yang tersedia,” ujar Hari saat dihubungi.
Selain itu, kendala lain yang dihadapi Dinas Bina Marga DKI adalah pembangunan trotoar di jalan nasional yang masih dikelola Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Karena dikelola oleh Kementerian PUPR, terkadang pembangunan trotoar tidak sama dengan desain milik Dinas Bina Marga.
Kondisi itu terlihat di sekitar Jalan RA Kartini yang berbatasan dengan Jalan TB Simatupang di Jakarta Selatan. Pembangunan trotoar dibangun dengan desain yang sangat tinggi dan tidak dilengkapi dengan ramp. Selain itu, trotoar juga sangat sempit dan tidak dilengkapi dengan petunjuk untuk tunanetra (guiding block).
”Memang masih ada beberapa jalan yang dikelola Kementerian PUPR. Namun, tahun ini 13 ruas jalan nasional itu akan diserahkan ke Pemprov DKI dan akan mulai kami perbaiki. Semoga pertengahan tahun sudah selesai proses serah terimanya,” tutur Hari.
Trotoar di sejumlah jalan tersebut akan diperbaiki dengan melihat trase jalan yang ada. Jika trase jalan mencapai 15 meter, trotoar masih bisa diperlebar sehingga bisa melengkapi aksesibilitas jalan. Namun, jika trase jalan sudah sempit, kendala yang harus dihadapi adalah masalah pembebasan lahan. Dinas Bina Marga tidak bisa sembarangan membebaskan lahan, terutama di lokasi yang sudah padat penduduk, seperti kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan.
”Intinya, Pemprov DKI tetap berkomitmen untuk membuat trotoar yang lebar dan nyaman. Saat membangun trotoar, kami juga memperhatikan hak-hak pejalan kaki, penyandang disabilitas, ataupun jalur sepeda,” ujar Hari.
Kemudahan
Berdasarkan kajian Litbang Kompas ”Ubah Persepsi soal Angkutan Umum”, Agustus lalu, berpindah-pindah moda menjadi salah satu faktor penghambat warga untuk menggunakan angkutan umum.
Kebiasaan menggunakan transportasi pribadi (mobil atau sepeda motor) yang selama ini cukup memanjakan membuat sebagian warga enggan untuk meninggalkan kenyamanan yang telah diperoleh. Integrasi menjadi faktor penting keberhasilan pemanfaatan jaringan angkutan massal Jabodetabek.
Integrasi juga diperlukan sebagai fleksibilitas bagi penumpang yang ingin melakukan transfer antar-rute dan moda serta menciptakan jaringan transportasi yang komprehensif. Kemudahan transfer berarti waktu peralihan lebih cepat dan jarak lebih pendek. Integrasi yang tepat akan memperluas daerah cakupan penumpang serta bisa saling melengkapi dalam pelayanan untuk menarik penumpang, (Kompas, 9 November 2018).