Ratusan tambang minyak liar ditemukan dalam kawasan Taman Hutan Rakyat Sultan Thaha Syaifuddin di Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
BATANGHARI, KOMPAS — Setidaknya 1.500 titik pengeboran minyak liar beroperasi di Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. Lebih dari 500 titik di antaranya telah merambah masuk dalam kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Thaha Syaifuddin.
Tambang liar marak dua tahun terakhir di Desa Pompa Air dan Desa Bungku, Kecamatan Bajubang. Aktivitas itu bahkan mengokupasi areal wilayah kerja pertambangan (WKP) PT Pertamina (Persero) dalam kawasan tahura, yang produksinya dikerjakan PT Prakarsa Betung Meruo Senami.
Selebihnya, aktivitas itu bertebaran di area penyangga kawasan hutan. Lebih dari 8.000 pekerja setiap hari mengumpulkan hasil tambang dan mengangkutnya keluar.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Batanghari Parlaungan mengatakan, praktik jual beli lahan sebelumnya marak untuk perambahan. Dari total 15.830 hektar tahura, 10.000 hektar di antaranya dibuka menjadi kebun sawit dan karet. Belakangan, tambang liar ikut marak beroperasi dalam kebun-kebun sawit dan karet itu.
”Dalam waktu singkat, aktivitas pengeboran minyak liar marak. Sulit dikendalikan,” kata Parlaungan, Senin (25/3/2019). Pantauan Kompas di lokasi, para pekerja leluasa menjalankan usaha tambang liar itu dalam areal WKP. Bahkan, aktivitas tambang berlangsung persis di belakang pos pengamanan dan di sekitar pompa bor perusahaan.
Dalam sehari, lebih dari 400 truk dan 1.600-an pikap mengangkut keluar hasil minyak itu. Lebih dari 8.000 ton minyak ditambang dan diangkut keluar. Seluruh aktivitas tersebut tanpa legalitas. Namun, aliran minyak dengan leluasa melintas keluar dari dalam kawasan itu karena mendapatkan pengamanan dari oknum-oknum aparat dan perangkat desa.
Pungutan liar
Para penarik pungutan liar pun berjaga di sejumlah titik pelintasan. Kendaraan pikap menyetor dana Rp 50.000 per titik lintasan, sedangkan pengemudi truk menyetor Rp 100.000.
Salah seorang pekerja bor, Asman, mengatakan, dirinya memperoleh upah Rp 50.000 per meter tanah yang berhasil dibor. Sejak tiga hari terakhir, ia telah mengebor hingga kedalaman 109 meter untuk mendapatkan kandungan minyak.
Ia mengatakan, tawaran mengebor makin banyak belakangan sebab banyak pemilik lahan dalam kawasan itu berminat ikut membuka usaha tambang.
”Kalau saya sendiri hanya pekerja, belum punya modal untuk membuka sendiri,” ujarnya.
Jafar, Head of Production PT Prakarsa Betung Meruo Senami, perusahaan pelaksana pengeboran WKP di lokasi itu, mengatakan, maraknya aktivitas tambang liar dalam wilayah kerjanya telah berdampak pada turunnya hasil tambang perusahaan.
Sebelumnya, dalam sehari 1.100 barel minyak bisa diproduksi. Namun, saat ini produksi turun menjadi 930 barel.
”Terjadi kecolongan cukup besar,” katanya. Maraknya aktivitas tanpa izin juga memicu terjadi kecelakaan dan kerusakan lingkungan. Februari lalu, seorang pekerja tewas terbakar ketika api menyembur dari sumur bornya.
Menurut Jafar, sejak tiga bulan terakhir sudah terjadi empat kali kebakaran di sana. Public Relation and Government Relation and Assistant Manager Pertamina EP Asset I Jambi Andrew mengatakan, pihaknya yang tergabung dalam tim terpadu penutupan illegal drilling telah mengupayakan penutupan sumur bor ilegal. Pada 2017 telah ditutup 49 sumur, sedangkan pada 2018 telah ditutup 25 sumur.
Pihaknya juga berupaya melakukan pembebasan lahan. Namun, persoalannya para petambang liar menuntut harga yang terlalu tinggi.