Apa Artinya Menang jika ”Rumah Kita” Hancur?
Siapa pun yang terpilih sebagai presiden nanti, Indonesia harus tetap menjadi rumah bersama yang nyaman dan damai bagi seluruh warga negara Indonesia tanpa terkecuali.
Memanasnya suhu politik menjelang Pemilihan Presiden 2019 menjadi keprihatinan serius akhir-akhir ini. Masyarakat kian terbelah, perang opini semakin tak logis, dan dukungan membabi buta berujung irasionalitas. Lalu, apa gunanya sebuah kemenangan jika ”rumah” yang kita singgahi akhirnya justru hancur dan runtuh?
Pertanyaan di atas patut direnungkan bersama-sama karena pesta demokrasi pilpres dan pileg hanyalah sebuah bagian kecil dari perjuangan panjang bangsa ini ke depan.
Sutradara senior Garin Nugroho merefleksikan fenomena Pilpres 2019 dalam buku terbarunya yang berjudul Negara Melodrama terbitan Penerbit Gading (2019). Menurut dia, cara pandang melodrama terbaca dalam nuansa dukung-mendukung antarkandidat presiden.
”Kultur melodrama melahirkan kultur penggemar alias fans, menjadikan potensi lahirnya sindrom fanatisme pendukung terhadap kandidat presiden sebagai hasil komoditas budaya populer, layaknya kelompok penggemar terhadap diva hiburan. Akibatnya, terjadi cara pandang dan reaksi serba hitam putih, yakni serba pahlawan dan nabi pada kandidat yang didukung, tetapi serba hitam alias buruk pada kandidat yang tidak didukung beserta pendukungnya,” kata Garin.
Kultur melodrama melahirkan kultur penggemar alias fans, menjadikan potensi lahirnya sindrom fanatisme pendukung terhadap kandidat presiden sebagai hasil komoditas budaya populer.
Dalam tataran ekstrem, terjadilah pengultusan kandidat tertentu sebagai sebuah kebenaran idola tunggal. Tak heran, jika seseorang kedapatan menyeberang atau masuk ke kubu sebelah, dia akan dihakimi habis-habisan.
Menurut Garin, jika bentuk ekstrem ini terwujud, negara akan mengalami keterbelahan sehingga pascapemilu, siapa pun presidennya pasti akan berhadapan dengan perlawanan dari pihak yang kalah. Akibatnya, program-program baik dari presiden baru tetap akan mendapatkan penghakiman negatif dari pendukung kandidat yang kalah. Begitu seterusnya roda pemerintahan akan terus terhambat dan upaya mendongkrak kesejahteraan masyarakat sulit dilakukan.
”Formula melodrama adalah rumus mengelola konflik tanpa akhir lewat rotasi eksplorasi beragam potensi konflik. Pada hukum melodrama, maka setiap elemen terkecil bercerita adalah elemen membangun konflik. Bisa diduga, formula mempermasalahkan hal terkecil yang merugikan salah satu kandidat akan semakin riuh menjelang puncak pemilu, terlebih setelah hasil pemilu,” katanya.
Di tengah kondisi seperti ini, Garin berkeyakinan melalui budaya dan tradisi rembuk bersama dalam memecahkan konflik sebagai kultur utama melodrama ala Indonesia diharapkan mampu menjadi sumber pemecahan beragam ketidakpuasan para pendukung kandidat Pilpres 2019. Harapannya, muncul sebuah ”Happy Ending” yang digemari penonton opera sabun akan terwujud pada Pilpres 2019.
Melalui budaya dan tradisi rembuk bersama dalam memecahkan konflik sebagai kultur utama melodrama ala Indonesia diharapkan mampu menjadi sumber pemecahan beragam ketidakpuasan para pendukung kandidat Pilpres 2019.
Rawat keutuhan bangsa
Keterbelahan antarkelompok masyarakat akibat kontestasi politik juga dirasakan di sejumlah daerah. Berbagai upaya terus dilakukan masyarakat untuk merawat keutuhan bangsa di tengah friksi-friksi perbedaan yang kian meruncing menjelang Pilpres 2019.
Hari Minggu (24/3/2019), masyarakat Magelang, Jawa Tengah, menggelar ”Selametan Puser Bumi Merawat NKRI Menjaga Indonesia” di Puncak Bukit Tidar. Dalam selamatan itu, setiap desa menyuguhkan tumpeng yang totalnya mencapai 364 tumpeng. Warga juga mengusung 21 gunungan.
Acara ini berkonsep kenduri, sebuah doa bersama warga desa diakhiri makan bersama. ”Gagasan selametan ini sebenarnya sudah lama diperbincangkan. Kami warga Magelang mendengar apa yang dilakukan warga di Solo dan Pati awal Maret lalu,” kata Arianto, Kepala Desa Jambewangi, Pakis, Kabupaten Magelang.
Dalam acara itu digelar prosesi Umbul Donga, di mana setiap warga yang hadir menuliskan doa dan pengharapannya untuk Indonesia di secarik kertas. Kertas-kertas doa itu ditempelkan pada instalasi dari bambu yang kemudian dibakar atau dilarung bersama api dan angin agar naik ke langit, menyatu dengan semesta, dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa.
Yang menarik dari kegiatan ini, setiap warga yang hadir dilarang membawa atribut partai ataupun salah satu pasangan calon presiden. ”Kami tidak ingin terjebak pada arus politik praktis. Tidak ada atribut partai ataupun paslon (pasangan calon) presiden, yang ada adalah atribut kebudayaan, pakaian-pakaian adat Jawa, representasi dari laku politik berbangsa yang mengedepankan kebudayaan,” katanya.
Kegiatan budaya seperti ini juga digelar di Solo, Pati, Grobogan, Karanganyar, Blora, Kendal, Temanggung, Klaten, Bojonegoro, dan Gresik sebagai rangkaian Kenduri Nusantara 2019.
”Ini merupakan perjuangan masyarakat di tengah kemerdekaan, yang dihadapkan pada kondisi politik yang semakin diciutkan menjadi sekadar kalah-menang. Suara yang digalang dan diperebutkan bukan lagi sebagai aspirasi apalagi mandat rakyat. Manusia Indonesia dipandang hanya sebagai angka-angka, bukan sekelompok manusia yang berbudaya,” kata Ari Sujito, sosiolog Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Budayawan Yogyakarta, Bambang Paningron, menambahkan, Kenduri Nusantara menjadi sebuah narasi untuk melawan upaya perongrongan keutuhan bangsa yang kini menjadi masalah serius dan mendesak. Menurut Paningron, diperlukan upaya untuk setidaknya mendinginkan suasana, salah satunya dengan mengembalikan dimensi manusia melalui kebudayaan.
Kenduri Nusantara menjadi sebuah narasi untuk melawan upaya perongrongan keutuhan bangsa yang kini menjadi masalah serius dan mendesak.
”Segenap bangsa Indonesia perlu mengingat kembali betapa kaya dan besarnya negeri kita. Juga betapa beragamnya cara bangsa Indonesia mensyukuri karunia itu. Inilah saatnya menata kembali ruang sosial kita, membuka sekat-sekat, membersihkan kembali saluran-saluran kotor, dan menyiraminya dengan napas kesejukan demi kecintaan kita kepada Indonesia. Mari kita mencintai negeri dengan budaya yang dimiliki. Apa gunanya menang kalau rumah yang kita singgahi justru hancur dan runtuh,” paparnya.