Dorong Perdagangan, Pengusaha Indonesia-Arab Saudi Saling Jajaki Bisnis
Oleh
M Fajar Marta
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Neraca perdagangan Indonesia dengan Arab Saudi selalu defisit. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengurangi defisit tersebut sekaligus meningkatkan nilai perdagangan adalah melalui pertemuan antar-pebisnis kedua negara.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, neraca perdagangan Indonesia dengan Arab Saudi selalu defisit selama periode 2014-2018. Pada Januari 2019, neraca perdagangan masih defisit, yaitu dari total nilai perdagangan 306,53 juta dollar AS, defisit Indonesia mencapai 73,11 juta dollar AS.
”Nilai perdagangan Indonesia memang masih mencatatkan defisit karena didominasi oleh impor migas. Namun, kita berharap setidaknya melalui temu bisnis antar-pengusaha dari kedua negara ini dapat meningkatkan transaksi perdagangan,” kata Ketua Komite Tetap Timur Tengah dan Organisasi Kerja Sama Islam (KT3-OKI) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Fachry Thaib, di Jakarta, Rabu (27/3/2019).
Paparan ini disampaikan saat ditemui dalam acara temu bisnis antara pengusaha Indonesia dan Arab Saudi, khususnya para pelaku UMKM. Acara ini diselenggarakan oleh KT3-OKI Kadin Indonesia yang juga bekerja sama dengan Saudi Chambers (Kadin Arab Saudi).
Dalam temu bisnis kali ini, perdagangan difokuskan ke dalam enam sektor, yakni ritel/makanan dan minuman, produk konsumsi/furnitur, teknologi informasi, plastik/kimia, energi, dan perhotelan. Pertemuan ini dihadiri oleh 9 UMKM Arab Saudi dan 18 UMKM Indonesia.
Perdagangan difokuskan ke dalam enam sektor, yakni ritel/makanan dan minuman, produk konsumsi/furnitur, teknologi informasi, plastik/kimia, energi, dan perhotelan
Direktur Bisnis dan Pemasaran Lembaga Layanan Pemasaran Koperasi dan UKM (LLP-KUKM) Kementerian Koperasi dan UKM Armel Arifin mengatakan, menurut data BPS, sektor UMKM berkontribusi cukup signifikan terhadap produk domestik bruto Indonesia, yaitu 62,57 persen. Dengan total 62 juta UMKM, diharapkan mampu meningkatkan nilai perdagangan, termasuk dengan Arab Saudi.
Perwakilan dari Small and Medium Enterprises General Authority of Saudi Arabia (Monsha’at) Faisal Al-Sultan juga menyambut baik pertemuan ini. Menurut dia, masih banyak peluang usaha yang dapat dikembangkan, khususnya di enam sektor tersebut.
”Saya melihat Indonesia memiliki potensi pasar yang besar. Melalui pertemuan ini, saya berharap agar kedua negara dapat lebih diuntungkan dengan transaksi perdagangan yang akan terjalin nantinya,” ujar Faisal.
Peluang
Visi Arab Saudi 2030 ibarat magnum opus sekaligus penentu masa depan Arab Saudi. Visi itu diyakini akan mengantarkan transformasi Saudi untuk tak lagi mengandalkan minyak sebagai sumber pendapatan negara, tetapi tetap menjadi negara berpengaruh kuat, terutama di kawasan (Kompas, 22 November 2018).
Terkait dengan Visi Arab Saudi 2030, Fachry menjelaskan, dengan adanya perubahan fokus dari negara minyak ke nonminyak, Arab Saudi akan menjadi lebih terbuka dalam bentuk kerja sama di berbagai komoditas lainnya. Tentu ini menjadi peluang besar bagi Indonesia.
”Namun, untuk memanfaatkan peluang tersebut, pengusaha kita harus bersiap. Jiwa kewirausahaan para pengusaha UMKM harus semakin dimatangkan agar bisa memenangi pasar,” tegas Fachry.
Menurut dia, kapasitas UMKM nasional perlu ditingkatkan dan didukung dengan strategi pemasaran yang optimal, mulai dari layanan informasi pasar, sarana dan prasarana, hingga pendampingan konsultasi pasar, serta pemanfaatan e-dagang (e-commerce) yang bisa diakses secara global.
”Penting juga untuk memastikan adanya kontrol terhadap kualitas produk. Sebab, kecenderungan pelaku UMKM lokal, ketika ada pesanan dalam jumlah besar, kualitas malah menurun yang membuat bisnis tidak berjalan kembali,” ujar Fachry.
Sertifikasi halal
Selain itu, sertifikasi halal juga menjadi persoalan hingga saat ini. Fachry menyoroti penting bagi Indonesia untuk segera menerapkan sertifikasi halal bagi semua produk lokal. Urgensi ini disebabkan oleh beberapa negara, di antaranya Jepang, Vietnam, dan Thailand, yang telah menerapkan sertifikasi halal dan mengambil manfaat terlebih dahulu.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform On Economics (CORE) Muhammad Faisal mengungkap hal senada. Menurut dia, penerapan sertifikasi halal pada hakikatnya sangat menguntungkan pelaku usaha, baik untuk pasar dalam negeri maupun global.
”Selama ini penetrasi kita masih minim. Misalnya dengan Arab Saudi, meski kita besar dalam jumlah mengirimkan jemaah haji, yang menyuplai makanan dan pakaian malah didominasi oleh Thailand yang sudah memiliki sertifikasi halal,” kata Faisal.
Padahal, jika pemerintah benar berkonsentrasi memfasilitasi proses sertifikasi halal, peluang pemerintah mendapatkan pasar baru nontradisional semakin terbuka. Sebab, kawasan Timur Tengah, Asia Tengah, dan Afrika, yang mayoritas penduduknya Muslim, sangat menaruh perhatian terhadap sertifikasi halal.
Untuk itu, dalam menerapkan sertifikasi halal, Faisal mendorong agar pemerintah memberikan edukasi dan memastikan adanya insentif bagi pelaku usaha, khususnya usaha mikro dan kecil. Pemberlakuan tarif sertifikasi halal pun harus dilakukan secara bertahap dan disesuaikan dengan level usaha.