JAKARTA, KOMPAS — Pemanfaatan energi terbarukan sebagai sumber energi primer pembangkit listrik dapat jadi solusi finansial PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Sumber energi terbarukan, seperti tenaga surya, bayu, atau hidro, tidak perlu dibeli dibandingkan dengan sumber energi fosil. Akan tetapi, pengembangan energi terbarukan idealnya harus berskala besar agar keekonomian tercapai.
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, skema take or pay yang mewajibkan PLN harus membayar ke produsen listrik swasta meski listrik yang dihasilkan tak terserap pelanggan bakal membebani keuangan perusahaan.
Pembangkit listrik dari energi terbarukan bisa menjadi solusi karena sumber energi pembangkit tak perlu dibeli. Apalagi, jual beli tenaga listrik dari energi terbarukan tidak memakai skema take or pay seperti halnya listrik yang dihasilkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Jual beli tenaga listrik dari energi terbarukan tidak memakai skema take or pay.
”Yang patut diwaspadai adalah pertumbuhan permintaan listrik pada masa mendatang tak melulu datang dari PLTU. Sangat mungkin sumber energi terbarukan akan menjadi pilihan lantaran biayanya yang kian murah dengan penggunaan teknologi yang kian efisien,” kata Fabby, Selasa (26/3/2019), di Jakarta.
Berdasar kajian IESR, lanjut Fabby, penetrasi energi terbarukan di Indonesia bisa ditingkatkan menjadi 43 persen tanpa mengurangi keandalan pasokan. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan proyeksi dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018-2027 yang mencantumkan angka 23 persen untuk energi terbarukan. Hasil kajian juga menyatakan bahwa biaya produksi listrik energi terbarukan tidak lebih mahal dari listrik yang dihasilkan PLTU.
Mengacu pada dokumen RUPTL PLN 2019-2028, pembangkit yang dibangun akan berkapasitas total 56.000 MW. Dalam rencana bauran energi pembangkit pada 2025, porsi batubara masih dominan sebesar 54,6 persen, energi terbarukan 23 persen, gas 22 persen, dan bahan bakar minyak 0,4 persen. Adapun proyeksi rata-rata pertumbuhan listrik sebesar 6,42 persen.
”Ini sekaligus menjawab polemik tentang pembangkit listrik dari energi terbarukan ongkosnya lebih mahal ketimbang PLTU dan menyebabkan pasokan kurang andal,” ujar Fabby.
Fabby menambahkan, ada potensi kelebihan pasokan listrik pada sistem Jawa-Bali dan Sumatera periode 2027-2028 (bukan pada 2021-2022 seperti yang tertulis sebelumnya) apabila PLN tetap melaksanakan pembangunan PLTU, seperti yang tercantum dalam dokumen RUPTL. Kelebihan pasokan tersebut diperkirakan 12.500 megawatt atau setara dengan kelebihan investasi sebesar 12,7 miliar dollar AS.
Sebelumnya, Vice President Public Relation PLN Dwi Suryo Abdullah mengatakan, tambahan produksi dibutuhkan untuk meningkatkan cadangan daya sekaligus keandalan sistem. Hal itu sejalan dengan target pemerintah meningkatkan konsumsi listrik per kapita yang diharapkan memacu produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah menargetkan konsumsi listrik dari 1.064 kWh per kapita pada tahun lalu menjadi 1.200 per kWh per kapita tahun ini. Dengan jumlah cadangan daya yang terus bertambah, tantangannya adalah meningkatkan penyerapan. Oleh karena itu, PLN berupaya memacu penyerapan, antara lain dengan memberikan diskon untuk kendaraan dan kompor listrik serta diskon tarif untuk industri di luar beban puncak.
Sementara itu, dari sisi bisnis, Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang dalam sebuah diskusi tentang energi terbarukan mengakui bahwa untuk mendapatkan pendanaan investasi PLTU mulai terbatas. Hal itu sudah terjadi dalam kurun tiga tahun terakhir. Sejumlah bank di Eropa dan Amerika Serikat mulai enggan mendanai investasi pembangunan PLTU.
”Mereka bersedia mengucurkan pendanaan untuk pembangkit listrik energi terbarukan. Namun, sebenarnya ada peluang di balik itu mengingat perkembangan teknologi yang kian pesat menyebabkan ongkos listrik dari energi terbarukan kian murah. Apalagi, tren di dunia sekarang bergerak ke sumber energi yang lebih bersih,” kata Arthur.