Masela tengah ramai diperbincangkan di sektor hulu migas nasional. Perbincangan itu perihal kondisi terkini proyek pengembangan blok kaya gas tersebut. Bayangkan, sejak kontrak ditandatangani pada 1998, belum ada tanda-tanda proyek dimulai setelah 20 tahun lebih berlalu.
Hingga hari ini belum ada keputusan atas rencana pengembangan (plan of development/POD) blok tersebut oleh pemerintah, dalam hal ini Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). POD menjadi dasar bagi investor, yakni Inpex (Jepang) dan Shell (Belanda), untuk memulai pekerjaan di lapangan. Pembahasan POD yang berlarut-larut berkaitan dengan biaya pengembangan gas dengan skema di darat.
Pada 23 Maret 2016, pemerintah memutuskan pengembangan gas di darat. Semula, kementerian teknis, yakni Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta SKK Migas merekomendasikan agar gas dikembangkan di laut lepas atau di lapangan (offshore). Hal ini sejalan dengan rekomendasi konsultan independen yang disewa pemerintah.
Ketika itu, polemik soal darat dan laut Blok Masela digambarkan dalam sebuah karikatur yang viral lewat media sosial atau layanan pesan di telepon seluler. Karikatur itu menunjukkan seseorang yang terdampar di sebuah pulau dan tampak antusias ketika ada kapal mendekat. Padahal, penumpang di dalam kapal itu juga tak kalah antusias saat melihat daratan setelah sekian lama terombang-ambing di lautan.
Seorang praktisi sektor migas berpendapat, karikatur itu menggambarkan, keputusan pengembangan gas di darat atau di laut tergantung dari sudut pandang masing-masing. Bagi orang yang terdampar di pulau, kedatangan kapal adalah kabar menggembirakan. Sebaliknya, bagi orang di kapal, melihat daratan adalah hadiah istimewa setelah terombang-ambing di lautan lepas.
Lalu, apa solusi di tengah situasi yang berlarut-larut ini? Apakah ada jalan tengahnya? Dalam sebuah diskusi, pengajar pada Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, menyebutkan, (selalu) ada jalan tengahnya.
Apa jalan tengahnya? Insentif dari pemerintah untuk investor dalam usaha membuat proyek itu menjadi ekonomis dan menguntungkan semua pihak.
Insentif itu, selain tentang perpajakan atau fiskal, juga bisa dengan mempercepat proses birokrasi proyek. Waktu adalah uang, begitulah dogma dalam bisnis ini. Pembahasan yang berlarut-larut bisa menyebabkan Indonesia kehilangan momentum. Yang jelas, perolehan manfaat pengembangan gas kian molor dan tak bisa berkompetisi di pasar gas internasional.
Apa momentum lain? Investor bisa saja mundur atau menarik diri setelah melihat tak ada harapan dalam proyek tersebut. Pada saat bersamaan, ada prospek di tempat lain yang lebih menguntungkan dan menjanjikan. Kendati kondisi demikian wajar di dunia bisnis hulu migas, dikhawatirkan hal itu bakal berdampak buruk bagi Indonesia.
Indonesia akan dikenal sebagai negara yang rumit dan tak ramah bagi investor. Citra itu tentu tidak diinginkan di tengah upaya Indonesia meraih investasi, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Masela kini menjadi sebuah pertaruhan. Keputusan yang sudah diambil mesti bisa direalisasikan.