TANGERANG SELATAN, KOMPAS — Konsep pembelajaran yang terpusat kepada siswa belum sepenuhnya dimengerti oleh guru dan kepala sekolah. Banyak yang mengasumsikan metode ini berarti memberi siswa kebebasan mutlak dalam menentukan topik materi. Padahal, yang diperlukan adalah kemampuan guru dalam mengelola aspirasi siswa merancang strategi belajar.
Hal tersebut mengemuka dalam pelatihan 70 guru dan kepala sekolah SMP/madrasah tsanawiyah se-Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang. Acara yang dilangsungkan di Serpong, Tangerang Selatan, Selasa (26/3/2019), ini diadakan oleh Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM).
Psikolog pendidikan Universitas Gadjah Mada yang juga salah satu pendiri GSM, Novi Chandra, menjelaskan, setiap tahap pendidikan ada target yang harus dicapai. Pada tahap SD adalah mengembangkan kecerdasan emosi, sosial, dan keterampilan sehari-hari.
”Pada level SMP, guru dan orangtua mengembangkan pemikiran anak serta mulai mengeksplorasi minat dan bakat yang mereka miliki,” ujarnya. Kemudian, pada masa SMA beralih pada peningkatan penalaran yang kompleks, mengasah kompetensi, dan mengarahkan pendidikan tinggi untuk karier sesuai dengan keunikan setiap individu.
Kebablasan
Dalam pelatihan tersebut para guru berdiskusi dengan Novi dan mitra pendiri GSM, Muhammad Nur Rizal. Guru-guru mengakui masih memiliki pandangan lama yang menganggap siswa sebagai obyek pendidikan, bukan subyek pendidikan. Hal ini yang menyulitkan mereka mengembangkan pembelajaran berbasis pemikiran canggih (high order thinking).
Pandangan lama yang menganggap siswa sebagai obyek pendidikan, bukan subyek pendidikan, menyulitkan guru mengembangkan pembelajaran berbasis pemikiran canggih (high order thinking).
Kurikulum 2013 menyatakan bahwa guru bertindak sebagai fasilitator, sementara siswa diberi kebebasan menentukan pelajaran. Para guru mengeluhkan, metode ini malah berujung pada kebablasan karena pelajaran melenceng dari target.
Seorang peserta yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan pengalamannya ketika hendak mengajar seni tari. ”Siswa meminta diajarkan seni musik saja. Jadi, saya mengalah karena sekarang, kan, pelajaran harus mengikuti kehendak siswa,” ujarnya.
Novi memaparkan, hal ini terjadi karena guru tidak pernah membuat rencana pembelajaran sesuai dengan kebutuhan kelas. Praktik yang awam di kelas adalah guru secara kaku mengikuti kurikulum sehingga kurang terasah kreativitas membangun pembelajarannya. Penyebabnya antara lain karena takut kepada otoritas lebih tinggi, seperti kepala sekolah, pengawas, dan dinas pendidikan. Padahal, sejatinya kurikulum perlu diadaptasi sesuai dengan keadaan di setiap kelas agar pembelajaran efektif. Kuncinya ialah dengan membuat siswa senang dan tertarik untuk belajar.
Kurikulum perlu diadaptasi sesuai dengan keadaan di setiap kelas agar pembelajaran efektif.
Materi pelajaran tetap sesuai dengan kurikulum, misalnya harus belajar seni tari. Fungsi guru sebagai fasilitator adalah kemampuan mengomunikasikan target pembelajaran dengan strategi belajarnya.
”Katakan kepada siswa bahwa kita harus belajar seni tari dengan target dan tahapan yang ditentukan. Lantas, minta tanggapan siswa mengenai tahap-tahap itu. Jika mereka memiliki masukan, rembukkan cara menerapkannya di dalam pembelajaran,” kata Novi. Ketika siswa memiliki andil membuat rencana pembelajaran, mereka akan memiliki rasa senang dan bersungguh-sungguh mempelajari materinya.
Lingkungan
Mewadahi aspirasi siswa berarti menciptakan lingkungan yang menyenangkan bagi siswa. Dalam pelatihan itu diterangkan ada empat aspek yang mendukung lingkungan pendidikan yang kondusif untuk tumbuh kembang siswa, yakni lingkungan fisik, metode belajar, pembangunan karakter siswa, dan tripusat pendidikan. Guru dipersilakan memilih aspek yang paling mudah untuk dilakukan dan paling cepat menampakkan hasil sebelum melangkah ke aspek selanjutnya.
Rizal mengungkapkan, umumnya guru memilih aspek lingkungan fisik untuk dibenahi terlebih dulu. Caranya, dengan merapikan dan menghias ruang kelas. Ruangan yang semarak membuat siswa betah di kelas dan lebih semangat dalam belajar.
Kepala Sekolah Madrasah Tsanawiyah Pesantren Nurul Huda Zamzam Syarofah mengutarakan hal serupa. Para santri senang apabila diberi proyek prakarya, apalagi yang kemudian dipamerkan di ruang kelas.
”Untuk aspek lainnya merupakan pekerjaan rumah karena ada perubahan persepsi mendasar yang harus dilakukan. Budaya pesantren membiasakan jarak yang besar antara guru dan santri karena guru harus mengawasi siswa 24 jam setiap hari dan butuh wibawa agar siswa disiplin,” ujarnya.
Oleh sebab itu, ia mengikuti pelatihan untuk melihat berbagai alternatif komunikasi guru dan siswa.