Pada tahun 2017, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 44 Tahun 2017 tentang Pengembangan Kawasan Berbasis Transit (transit oriented development/TOD), lalu disusul dengan pergub lain, Pergub No 140/2017 tentang Penugasan PT MRT Jakarta sebagai Operator Utama Pengelola Kawasan TOD.
Penerbitan aturan itu diharapkan mendukung gerak PT MRT Jakarta, operator angkutan umum perkotaan berbasis rel pertama di Jakarta dan Indonesia. Dalam rangka sebagai operator itulah MRT Jakarta, selain mendapatkan pendapatan dari penjualan tiket, juga diharapkan mendapatkan pemasukan dari nontiket atau nonfare box.
Seperti yang pernah diberitakan, pengembangan moda perkotaan berbasis rel MRT di mana pun, pendapatan dari nontiket diharapkan bisa menjadi pemasukan untuk kelangsungan usaha.
Saefullah, Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta, pernah menjelaskan, melalui Pergub No 140/2017, PT MRT diberi mandat untuk melakukan kerja sama dengan pengembang atau para pemilik gedung yang terkena TOD, baik itu yang berada di sekitar jalur MRT layang maupun bawah tanah.
Berdasarkan pergub tersebut, ada delapan kawasan TOD di fase 1 koridor selatan-utara yang akan dikelola PT MRT Jakarta. Kedelapan kawasan itu meliputi Bundaran Hotel Indonesia, Dukuh Atas, Setiabudi, Bendungan Hilir, Istora, Senayan, Blok M, dan Lebak Bulus.
Saefullah juga menambahkan, dalam pengembangan TOD ini, PT MRT mempunyai empat tugas utama. Pertama, mengoordinasikan pemilik lahan atau bangunan dalam perencanaan dan pengembangan kawasan.
Kedua, mendorong percepatan pembangunan sarana-prasarana kawasan TOD sesuai dengan Panduan Rancang Kota.
Ketiga, mengoordinasikan pemilik lahan atau bangunan, penyewa, serta pemangku kepentingan lain dalam pengelolaan, pemeliharaan, dan pengawasan di kawasan TOD.
Keempat, memonitor pelaksanaan pengembangan kawasan TOD, baik dalam perencanaan, pemeliharaan, maupun pengembangannya.
Karena dalam Pergub No 140/2017 baru delapan titik TOD yang akan dikembangkan oleh MRT Jakarta, bagaimana dengan titik lain yang mungkin juga berkembang sebagai TOD? Menurut Pergub No 44/2017, operator TOD bisa mengusulkan pengembangan kawasan TOD baru.
Namun, seperti yang disampaikan pengamat transportasi Djoko Setijawarno dari Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, pengembangan TOD itu jangan sampai salah kaprah. Tidak bisa asal dekat stasiun atau jalur rel langsung dibangun TOD gedung tingkat untuk permukiman.
Yang namanya TOD sesungguhnya adalah tidak ada tempat parkir, tetapi memudahkan orang berpindah moda atau berganti moda. Di situ ada pusat perkantoran dan pusat perbelanjaan sehingga tidak membuat mereka jauh-jauh.
Selain itu, kawasan TOD itu juga bisa dilengkapi dengan kawasan permukiman yang bisa untuk masyarakat semua kelas. Masyarakat kelas bawah juga diberikan tempat tinggal di perkotaan untuk membantu masyarakat perkotaan.
”TOD ini ada sisi transportasi dan ada sisi planologi. Ada pengembangan kawasan perkotaan di sekitar area transit moda. Ada pengembangan, ada pemasukan, bisa untuk membantu mengurangi subsidi,” ujar Djoko.
TOD ini ada sisi transportasi dan ada sisi planologi. Ada pengembangan kawasan perkotaan di sekitar area transit moda. Ada pengembangan ada pemasukan, bisa untuk membantu mengurangi subsidi.
Jadi, TOD mestinya memang tidak dilengkapi area parkir. Namun, pengembangan kawasan memudahkan mobilitas dan aktivitas.
Senada dengan Djoko, Aditya Dwi Laksana, Ketua Forum Transportasi Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia, mengingatkan, jangan menyebut suatu kawasan sebagai area TOD kalau, katakan, akses dari Stasiun Gambir ke halte Transjakarta atau dari Stasiun KRL Cawang ke halte Transjakarta susah.
”Perbaiki dulu integrasi secara fisik antarmoda. Buatlah akses yang mudah untuk berpindah ke setiap moda sehingga penggunaan transportasi umum sudah menjadi kebutuhan utama atau masyarakat sudah terbiasa. Apabila itu terjadi, pengembangan kawasan bisa dilakukan,” ujar Aditya.
Di atas kertas, sepanjang jalur kereta MRT pun bisa dikembangkan sebagai TOD. Bahkan, pengembangan yang tepat bisa menjadi pemasukan dari nontiket.
Kembali pada Pergub No 140/2017, yang dimaknai sebagai kawasan TOD adalah pengembangan kawasan yang terletak pada perpotongan koridor angkutan massal (dua atau lebih) dengan salah satunya berbasis rel. Lalu, kawasan itu merupakan kawasan dengan nilai ekonomi tinggi dan/atau yang diprediksi akan memiliki nilai ekonomi tinggi serta kawasan yang direncanakan dan/atau ditetapkan sebagai pusat kegiatan.