Pesta demokrasi tahun ini adalah milik semua. Keterbatasan fisik tak membuat antusias itu meredup. Semangatnya justru bersinar lebih terang.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
Pesta demokrasi tahun ini adalah milik semua. Keterbatasan fisik tak membuat antusias itu meredup. Semangatnya justru bersinar lebih terang.
Rohma (26), sibuk berkutat di bilik suara di Panti Pelayanan Sosial Disabilitas Netra (PPSDN) “Penganthi” di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Rabu (27/3/2019). Sempat repot membuka dan meletakkan surat suara di meja, dia membiarkan tangannya dipegang dan digerakkan pendamping. Rohma dibantu meraba semua tulisan terkait calon dewan perwakilan daerah yang menunggu dipilih.
Rohma hampir 10 menit berada di bilik suara. Namun, wajahnya lega. Dia merasa rabaan tangannya tidak keliru. Rohma sudah mencoblos sesuai keinginannya.
Rohma adalah satu dari 68 difabel netra yang ikut acara simulasi dan sosialisasi pendidikan pemilih di PPSDN “Penganthi”. Digelar Komisi Pemilihan Umum Temanggung, acara ini ingin melatih difabel netra agar siap memberikan suaranya dalam pemilihan umum tahun ini.
Jumlah difabel netra di PPSDN “Penganthi” mencapai 100 orang. Sebanyak 68 orang diantaranya adalah warga berusia 17-45 tahun sehingga berhak memilih. Sebanyak 32 orang diantaranya memastikan bakal memilih di PPSDN.
Sekalipun hanya “latihan”, Rohma senang bisa mengikuti simulasi dengan baik. Sekalipun sempat kerepotan membuka surat suara besar di bilik kecil dan kurang lancar membaca huruf braille, Rohma mengatakan hal itu bakal jadi modal untuk menggunakan hak pilihnya. Ia memastikan bakal datang ke tempat pemungutan suara pada 17 April mendatang.
“Dengan memilih saya bisa ikut berkontribusi untuk negara,” ujar Rohma.
Zaroh Riyadin (18) menunjukan semangat serupa. Saking antusiasnya, ia sempat protes karena hanya mendapat dua dari lima surat suara. “Lho kok cuma dua lembar. Katanya pemilu kali ini saya harus mencoblos di lima lembar surat suara?” ujarnya protes.
Mendengar hal itu, petugas pendamping pun menjelaskan kalau kali ini hanya simulasi. Peserta hanya berlatih mencoblos di dua surat suara, pemilihan presiden dan DPD.
Sekalipun pandangan matanya terganggu sejak umur 13 tahun, Zaroh mengatakan, semuanya tidak menghambat pilihan politiknya. Jauh hari sebelum simulasi, dia mengatakan sudah punya pilihan untuk semua calon yang maju tahun ini.
“Saya sudah siap untuk memilih,” ujar pemilih pemula ini bersemangat.
Kepala PPSDN “Penganthi” Purwadi mengatakan, anak didiknya sangat bersemangat menyambut hari pemilihan. Banyak penghuni PPSDN bertanya kapan hari pemilihan dan di mana lokasi TPS tempat mereka akan memilih.
"Selain menimbang, memikirkan siapa calon yang akan dipilih, mereka pun juga sibuk memikirkan siapa yang nantinya akan dipilih menjadi pendamping di TPS,” ujarnya.
Komisioner KPU Kabupaten Temanggung Henry Sofyan mengatakan, difabel netra yang memilih di kampung bisa memakai tenaga pendamping dari anggota keluarganya. Sedangkan di kawasan tertentu, seperti PPSDN, tenaga pendamping bisa dikerahkan dari guru atau orang yang memang terbiasa mendampingi pemilih sehari-hari.
"Bila benar-benar tanpa ada pendamping, KPU siap mengerahkan anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara di TPS," kata dia.
Peran pendamping, menurut dia, sangat penting karena jumlah template (alat bantu) sangat terbatas, hanya satu per TPS. Template itu hanya bisa digunakan untuk memilih presiden dan anggota DPD.
Dengan memilih saya bisa ikut berkontribusi untuk negara
“Tanpa template di tiga lembar surat suara yang lain, maka untuk memilih anggota DPRD kota/kabupaten, DPRD provinsi, dan DPR-RI, difabel netra harus mengandalkan bantuan pendamping,” ujarnya.
Kondisi tersebut, akan memakan waktu pemilih difabel netra lebih lama di bilik suara. Mereka harus bersabar karena harus dipakai bergantian. Hari ini saja, dengan pendamping dan dibantu template, difabel tuna netra menghabiskan waktu 10-15 menit di bilik suara.
Bagi difabel netra, perjuangan mereka lebih keras untuk menyumbangkan suaranya. Semuanya dilakukan demi cinta pada nasib bangsa ini.