Pembangunan Rendah Karbon Memastikan Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan
Oleh
Brigitta Isworo Laksmi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan rendah karbon penting diterapkan demi menjamin pertumbuhan ekonomi tinggi sekaligus untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang menjadi kesepakatan global. Tanpa mengubah paradigma pembangunan yang dianut selama ini, risiko terjadinya bencana akan semakin tinggi yang akan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Kepala Bappenas/Menteri PPN Bambang Brodjonegoro dalam peluncuran hasil kajian Pembangunan Rendah Karbon (PRK), Selasa (26/3/2019), menegaskan, “LCDI (inisiatif pembangunan rendah karbon) akan kami arus utamakan menjadi bagian penting tidak terpisahkan dari RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2020-2024.”
Kajian tersebut disusun oleh Bappenas bermitra dengan pemerintah Norwegia, Denmark, UKAid, USAID, ICRAF, dan GIZ (Masyarakat Jerman untuk Kerjasama Internasional). Laporan Inisiatif Pembangunan Rendah Karbon (LCDI). Sebagai komisioner LCDI yaitu Wakil Presiden ke-11 Boediono, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif 2011-2014Mari Elka Pangestu, dan pakar ekonomi perubahan iklim dari London School of Economics and Political Science (LSE).
Dalam kajian PRK tersebut telah dimasukkan kesetimbangan antara aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial. “Karena aspek lingkungan akan dijadikan dasar menjamin keberlangsungan, dan ini sudah inline (sejalan) dengan tujuan pembangunan berkelanjutan yang sudah menjadi komitmen global sampai 2030,” kata Bambang.
Prinsip PRK merupakan titik temu atau penengah dari dua mazhab ekonomi yaitu mazhab yang menekankan pada eksploitasi sumber daya alam tanpa memperdulikan lingkungan, dengan mazhab yang mengutamakan perlindungan lingkungan sehingga dipandang menjadi penghalang pembangunan ekonomi. Menurut dia prinsip green growth yang pernah diperkenalkan tidak lagi cukup karena seakan hanya berurusan dengan hutan.
Prinsip PRK merupakan titik temu atau penengah dari dua mazhab ekonomi, yaitu mazhab yang menekankan pada eksploitasi sumber daya alam tanpa mempedulikan lingkungan, dengan mazhab yang mengutamakan perlindungan lingkungan.
Menurut Bambang, PRK bisa menjamin keberlangsungan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi tidak mengorbankan yang lainnya, yaitu aspek lingkungan dan sosial. “Kita tetap harus menjaga pertumbuhan ekonomi ini bukan hanya untuk satu generasi tapi untuk generasi berikutnya alias harus berkelanjutan,” tegasnya.
Wakil Presiden tahun 2009-2014 Boediono dalam sambutannya mengatakan, bahwa pembangunan ekonomi saat ini tidak boleh memasung generasi masa mendatang terutama terkait dengan kontrak investasi yang biasanya jangka panjang. Boediono pada kesempatan itu memutarkan video pidato remaja Greta Thunberg yang telah mendorong gelombang protes global tentang kebijakan perubahan iklim.
Bambang menyebutkan, akibat pembangunan yang mengabaikan lingkungan banyak terjadi bencana, terutama bencana hidrometeorologi atau yang terkait air. Bencana hidrometeorologi selain disebabkan oleh faktor perubahan iklim juga akibat kelalaian mengurus lingkungan.
Untuk memastikan bahwa PRK akan diarusutamakan dalam RPJMN 2020-2024 di bawah presiden terpilih, Bambang mengatakan, “Kami sudah memberikan paparan tentang PRK di hadapan Komisi Pemilihan Umum dan tim sukses dari kedua calon presiden,” ujarnya. Proses selanjutnya adalah negosiasi antara Bappenas dengan tim sukses presiden terpilih dan kementerian/lembaga untuk dimasukkan sebagai dasar penyusunan RPJMN.
Kajian yang diluncurkan kemarin merupakan inisiatif PRK fase pertama, yaitu untuk RPJMN 2020-2024. Fase selanjutnya adalah tahapan PRK untuk rancangan pembangunan yang berikutnya hingga mencapai tahun 2045 seagai perwujudan Visi Indonesia 2045.
Lima kebijakan utama
Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Bappenas, Arifin Rudiyanto, mengatakan, dalam mengimplementasikan PRK ada lima kebijakan utama yang didorong. Lima kebijakan utama tersebut adalah kebijakan terkait energi baru dan terbarukan, perlindungan hutan dan restorasi gambut, pengelolaan sampah industri dan sampah rumah tangga, peningkatan produktivitas pertanian, serta perbaikan kelembagaan dan tata kelola.
Kebijakan tentang energi terbarukan, menurut Bambang, “Nampaknya belum menjadi urgensi bagi sementara pelaku dan yang berwenang.” Menurut dia, yang dibutuhkan saat ini adalah political will dan sebaiknya segera dipelajari skema terbaik dari energi terbarukan.
Kebijakan tentang energi terbarukan nampaknya belum menjadi urgensi bagi sementara pelaku dan yang berwenang.
Sementara tentang regulasi, untuk bisa mengimplementasikan PRK maka perlu dikaji secara cermat regulasi mana yang perlu diubah, ditambah, atau perlu diselaraskan satu sama lain.
Dalam kajian PRK, terdapat empat skenario. Pertama, tidak ada perubahan kebijakan, tetapi memperhitungkan degradasi lingkungan. Skenario kedua, PRK menengah, termasuk di dalamnya kebijakan rendah karbon baru 2020-2045 dan mencapai NDC dengan kekuatan sendiri. Pada skenario ini dibutuhkan tambahan investasi 14,8 miliar dollar AS (2020-2024) dan 40,9 miliar dollar AS per tahun (2025-2045).
Skenario ketiga, PRK tinggi dengan ambisi lebih tinggi dan pencapaian penurunan emisi karbon dengan bantuan negara luar, yaitu turun 41 persen dibanding kondisi tanpa intervensi (BAU). Skenario keempat, PRK tinggi, di antaranya butuh kebijakan pajak karbon.
Pakar ekonomi perubahan iklim dari London School of Economics Lord Nicholas Stern menggarisbawahi, untuk bergeser pada kebijakan PRK, harus ada kebijakan finansial untuk membantu orang yang saat ini bekerja di aktivitas emisi karbon tinggi. “Kita harus bisa membuat peluang agar mereka bisa mendapat peluang baru. Perlu pendanaan untuk pelatihan bagi perusahaan kecil dan menengah. Ini memang krusial, namun ini merupakan peluang.”