JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diminta tidak ragu untuk menaikkan tarif cukai rokok. Pasalnya, kenaikan tarif cukai yang berimbas pada kenaikan harga rokok akan mengurangi jumlah perokok. Pemerintah juga diminta tidak khawatir kenaikan akan meningkatkan jumlah konsumsi rokok ilegal. Sebab, konsumen rokok ilegal di Indonesia tidak banyak.
Riset ”Perdagangan Rokok Ilegal di Indonesia” oleh lembaga riset Perkumpulan Prakarsa yang dipublikasikan di Jakarta, Rabu (27/3/2019), menunjukkan hal itu.
Riset menunjukkan, sebesar 12-32 persen perokok berniat berhenti merokok jika harga rokok naik 50 persen atau 100 persen.
”Kenaikan tarif cukai yang berdampak pada kenaikan harga rokok akan efektif dalam mengurangi penggunaan tembakau di Indonesia. Pemerintah Indonesia harus memperhatikan fakta ini,” ujar salah satu periset, Widya Kartika.
Saat ini, tarif cukai rokok di Indonesia baru sekitar 40 persen dari harga jual rokok. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, tarif cukai bisa dimaksimalkan hingga 57 persen dari harga jual rokok.
Meski demikian, untuk tahun 2019, Kementerian Keuangan tidak menaikkan tarif cukai melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156 Tahun 2018 tentang Perubahan atas PMK Nomor 146 Tahun 2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Salah satu faktor yang menjadi pertimbangan adalah pemberantasan rokok ilegal.
Untuk diketahui, tingginya prevalensi merokok di Indonesia menjadi beban bagi negara. Konsumsi rokok merupakan salah satu pemicu penyakit katastropik. Penyakit katastropik menjadi porsi terbesar dalam pembiayaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada 2018 atau mencapai Rp 4,6 triliun.
Sementara itu, data Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia tahun 2010 menyebutkan, total biaya pengobatan untuk penyakit yang berkaitan dengan merokok antara lain penyakit paru obstruktif kronis, jantung koroner, gangguan perinatal, dan gangguan tertentu yang mencapai Rp 1,85 triliun.
Selain itu, hasil riset menunjukkan rendahnya konsumsi rokok ilegal. Dari 1.201 bungkus rokok yang dikumpulkan dari 1.440 perokok di enam kabupaten dengan prevalensi perokok tinggi, hanya ditemukan 20 rokok ilegal atau 1,67 persen.
Kategori rokok ilegal adalah tidak memiliki pita cukai dan peringatan kesehatan serta ketidaksesuaian pita cukai dan ketidaksesuaian peringatan kesehatan.
Studi itu menyebutkan pula, sekitar 19,7 persen responden pernah mengonsumsi rokok ilegal. Alasan mereka mengonsumsi rokok ilegal adalah harganya jauh lebih murah. Sekitar 43 persen dari orang yang pernah mengonsumsi rokok ilegal berpenghasilan kurang dari Rp 1,5 juta per bulan.
”Meskipun orang-orang dengan pendapatan lebih rendah cenderung untuk mengonsumsi rokok ilegal, perilaku itu bukanlah jangka panjang. Hal itu ditunjukkan oleh perbedaan yang signifikan antara proporsi orang yang pernah mengonsumsi rokok ilegal (20 persen) dan orang yang masih mengonsumsi rokok ilegal (1,67 persen),” kata Widya Kartika.
Rahmanda M Thaariq, periset lainnnya, mengatakan, angka itu menunjukkan tren penurunan konsumsi rokok ilegal jika dibandingkan dengan penelitian-penelitian yang dilakukan lembaga lainnya.
Studi dari Lembaga Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis (P2EB) Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada menyebutkan, jumlah rokok ilegal di pasaran pada 2014 sebesar 12,1 persen dan pada 2017 sebesar 7,04 persen.
Menaikkan cukai
Peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Abdillah Ahsan mengatakan, studi tersebut mengonfirmasi bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari rokok ilegal karena jumlahnya sangat sedikit.
Menurut Ahsan, minimnya keberadaan rokok ilegal di Indonesia tidak terlepas dari kerja keras petugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mengintensifkan operasi penangkapan dalam beberapa tahun terakhir.
Jumlah penindakan terus meningkat, yaitu 1.232 penindakan pada tahun 2015, 2.374 tahun 2016, 3.966 tahun 2017, dan 4.092 tahun 2018 (Kompas, 21/9/2018).
Atas pencapaian itu, kata Ahsan, semestinya Bea Cukai mendapatkan anggaran lebih untuk semakin meningkatkan kapasitas penegakan hukum. Itu bisa diambil dari peningkatan tarif cukai rokok.
”Jadi tidak ada alasan menahan kenaikan tarif cukai dengan alasan jumlah rokok ilegal akan naik. Jika rokok ilegal naik, penegakan hukum yang mesti ditingkatkan,” kata Ahsan.
Kepala Bidang Kepabeanan dan Cukai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Nasruddin Djoko Surjono mengatakan, pengambilan kebijakan untuk menaikkan tarif cukai rokok tidak hanya dilakukan oleh Kemenkeu, tetapi juga melibatkan kementerian lainnya. Akibatnya, banyak yang dipertimbangkan saat menentukan tarif cukai rokok.
”Tapi percayalah, dalam lima tahun terkahir, sebenarnya (kenaikan cukai) sudah pada jalurnya, mungkin tahun ini (yang belum). Ini dinamis, sekarang belum, mungkin saja besok akan naik lagi," kata Nasruddin. (YOLA SASTRA)