JAKARTA, KOMPAS — Komite Olahraga Nasional Indonesia Pusat telah gagal menjalankan roda organisasinya sebagaimana tertuang dalam anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) yang mereka buat. Paling tidak, mereka tidak bisa mencari sumber pendanaan selain dari pemerintah untuk menjalankan organisasi dan operasional sehari-hari, termasuk membayar gaji karyawan.
Puncaknya, tiga bulan terakhir, KONI Pusat tak mampu membayar gaji karyawannya karena Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) menunda penyaluran anggaran untuk mereka. Hal itu turut dipicu terjadinya operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi kepada sejumlah pejabat Kemenpora dan KONI Pusat terkait dengan kasus dana hibah dari Kemenpora untuk KONI Pusat pada Desember 2018, serta belum beresnya laporan pertanggungjawaban (LPJ) penggunaan anggaran KONI periode 2018.
Sekretaris Kemenpora Gatot S Dewa Broto di Jakarta, Selasa (26/3/2019), mengatakan, pihaknya melakukan rapat bersama pengurus KONI Pusat sekitar tiga minggu yang lalu. Saat itu, rapat dipimpin langsung oleh Menpora Imam Nahrawi dan dihadiri sejumlah petinggi KONI Pusat, antara lain Ketua Umum KONI Pusat Tono Suratman dan Wakil I Ketua Umum KONI Pusat Bidang Pembinaan Prestasi Olahraga dan Organisasi Suwarno.
Dalam rapat tersebut, KONI Pusat mengadu bahwa mereka sudah tidak ada uang dan gaji karyawan sudah tertunggak (saat itu belum dibayar sekitar dua bulan). Atas dasar itu, Tono memohon agar Kemenpora segera memproses proposal anggaran KONI Pusat periode 2019, antara lain untuk menjalankan roda organisasi dan operasional sehari-hari, termasuk membayar gaji karyawan.
Saat itu Imam bertanya kepada Tono mengenai sumber pendanaan KONI Pusat. Ternyata, Tono menjawab bahwa sumber pendanaan mereka hanya dari pemerintah, yakni melalui APBN yang disalurkan Kemenpora ke KONI Pusat. ”Itu jelas-jelas menunjukkan bahwa roda organisasi KONI Pusat tidak berjalan. Sebab, dalam AD/ART KONI Pusat disebutkan sumber pendanaan mereka ada empat. Selain dari pemerintah, sumber keuangan mereka bisa dari iuran anggota, sumbangan lain yang tidak mengikat, dan usaha lain yang sah serta tidak bertentangan dengan AD/ART KONI Pusat ataupun undang-undang yang berlaku,” ujar Gatot.
Terlepas dari itu, Gatot mengatakan, Kemenpora masih menunda proses pencairan anggaran untuk KONI Pusat. Itu karena mereka mendapatkan peringatan dari Inspektorat Kemenpora serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) agar menunda semua proses penyaluran anggaran ke KONI Pusat. Hal itu dipicu timbulnya kasus dugaan korupsi yang dilakukan sejumlah pejabat Kemenpora dan KONI Pusat terkait dengan anggaran hibah dari Kemenpora untuk KONI Pusat tahun lalu.
Selain itu, LPJ anggaran KONI periode 2018 juga belum rapi sesuai dengan aturan yang berlaku. ”Tentu, kami tidak mau terjadi kesalahan kedua kali. Jadi, kami memilih ikut dengan arahan Inspektorat dan BPKP. Andai ada lampu hijau dari Inspektorat dan BPKP, kami pasti langsung salurkan anggaran untuk KONI Pusat. Sebab, sejatinya, anggaran untuk mereka sudah disiapkan di Deputi IV Bidang Peningkatan Olahraga Nasional Kemenpora,” ujarnya.
Mantan Ketua Komisi Bisnis KONI Pusat Fritz E Simanjuntak mengutarakan, situasi yang terjadi di tubuh KONI Pusat saat ini sangat menyedihkan. Manajemen KONI Pusat tidak bisa mengelola sumber dana dari pemerintah. Mereka pun tidak bisa mencari sumber pendanaan lain dari luar pemerintah. Padahal, mereka memungkinkan mencari sumber pendanaan selain dari pemerintah.
Akibatnya, sekarang, karyawan KONI Pusat yang menanggung deritanya. Berdasarkan informasi yang dihimpun Fritz, sejumlah karyawan mengadu kepadanya bahwa gaji karyawan sudah tidak dibayar tiga bulan terakhir. ”Situasi ini sangat menyedihkan sekaligus memalukan. Seusai sukses menggelar Asian Games 2018, ternyata ada berita miris bertubi-tubi muncul dari dunia olahraga, antara lain dugaan kasus korupsi di tubuh Kemenpora dan KONI Pusat, serta tidak dibayarnya gaji karyawan KONI Pusat tiga bulan ini,” katanya.
Sejak pemisahan KONI dan KOI pada 2011, peran KONI seperti tidak jelas. Banyak program KONI justru bertolak belakang dengan program cabang.
Menurut Fritz, sebagai langkah darurat, pemerintah harus tetap membantu KONI Pusat sebab dugaan kasus korupsi lalu muncul karena ada kick back antara petinggi Kemenpora dan KONI Pusat. ”Selain itu, petinggi KONI Pusat juga harus mampu mengumpulkan dana lain, antara lain berani pinjam dana dari bank untuk membayar semua gaji karyawan,” tuturnya.
Terkait dengan informasi mengenai tertunggaknya pembayaran gaji karyawan KONI Pusat tiga bulan terakhir, Kompas coba mengonfirmasi langsung info itu kepada Ketua Umum KONI Pusat Tono Suratman. Namun, usaha Kompas menghubungi Tono lewat sambungan telepon dan kontak Whatsapp tidak direspons. Demikian SMS dan pesan Whatsapp tidak dibalas.
Kemudian, Kompas juga coba menghubungi Wakil I Ketua Umum KONI Pusat Suwarno. Saat dihubungi, Suwarno justru menyatakan, dirinya tidak tahu mengenai informasi tersebut. Ia berdalih sedang tidak di Jakarta dan belum mendapatkan informasi apa pun.
”Sekarang saya sedang di Jawa Timur. Jadi, saya belum dapat info apa pun. Saya harus cek dulu. Tapi, yang jelas, urusan itu bukan tanggung jawab saya. Saya ini membawahi urusan pembinaan prestasi dan organisasi. Urusan gaji itu dibawahi oleh bidang perencanaan dan kesekjenan,” ungkap Suwarno ketika dihubungi.
Perlu reformasi
Gatot mengatakan, perlu segera ada reformasi organisasi dan birokrasi di tubuh KONI Pusat. Setidaknya, dalam pemilihan pengurus baru kelak harus diselenggarakan secara terbuka. Hal itu agar masyarakat dan segenap pihak terkait bisa turut mengawal pemilihan calon pengurus KONI Pusat yang baru. ”Dengan begitu, diharapkan bisa muncul pengurus yang benar-benar kredibel dan paham dengan dunia olahraga,” ujarnya.
Dalam sejumlah kesempatan, beberapa pengurus cabang juga mengeluhkan fungsi dan tugas KONI Pusat saat ini. Mereka merasakan peran KONI Pusat sudah tak optimal untuk turut mendorong kemajuan cabang, atlet, ataupun dunia olahraga nasional secara keseluruhan.
”Sejak pemisahan KONI dan KOI pada 2011, peran KONI seperti tidak jelas. Banyak program KONI justru bertolak belakang dengan program cabang. Bahkan, akhirnya, program dari mereka justru mengacaukan program cabang. Hal itu perlu segera dievaluasi agar KONI terasa manfaatnya untuk cabang,” kata Kepala Bidang Pembinaan Prestasi PB Percasi Kristianus Liem beberapa waktu lalu.