Rendahnya tingkat kepatuhan melaporkan harta kekayaan, dinilai KPK, berpotensi menurunkan tingkat kepercayaan dan kredibilitas penyelenggara dan penegakan hukum.
JAKARTA, KOMPAS—Tingkat kepatuhan penyelenggara negara melaporkan harta kekayaannya masih sangat rendah dan belum menjadi contoh baik bagi publik. Kondisi ini berpotensi menurunkan tingkat kepercayaan dan mengganggu kredibilitas penyelenggara negara dan aparat penegak hukum.
Ironisnya, rendahnya tingkat ketidakpatuhan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) itu tak hanya terjadi di lembaga aparat penegak hukum, tetapi juga di kalangan pejabat di daerah hingga para calon anggota legislatif yang akan mengikuti Pemilu 2019.
Saat menyampaikan LHKPN di Gedung KPK Jakarta, Selasa (26/3/2019), Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, lembaganya mencatat hanya KPK dan Mahkamah Konstitusi, dua lembaga penegak hukum, yang konsisten sehingga melampaui persentase rata-rata tingkat kepatuhan LHKPN sektor yudikatif periode 2017-2018.
Sementara lembaga penegak hukum lainnya umumnya di bawah rata-rata. Bahkan, Kejaksaan Agung dan Komisi Kejaksaan dinilai selalu jadi dua lembaga yang tingkat kepatuhannya terendah selama periode itu. Tingkat kepatuhan Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) juga di bawah rata-rata, yakni 42,15 persen dari 23.715 wajib lapor untuk MA dan 43,75 persen dari 32 wajib lapor untuk KY.
Kondisi berbeda terjadi pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pada 2018, tingkat kepatuhan LHKPN 52,91 persen dari 17.255 wajib lapor. Sementara pada 2017, hanya 37,70 persen anggota kepolisian yang menyerahkan LHKPN. Lembaga pengawas kepolisian, yakni Komisi Kepolisian Nasional yang masuk daftar wajib lapor, ternyata tak pernah menyerahkan LHKPN.
Menurut Febri, pelaporan LHKPN secara periodik sebenarnya telah disosialisasikan ke berbagai instansi, termasuk lembaga penegak hukum. Sebagai penegak hukum, kepatuhan pelaporan LHKPN sepatutnya jadi contoh. Terlebih, bagi badan pengawas eksternal lembaga penegak hukum yang berfungsi mengawasi dan memberikan rekomendasi kepada aparat penegak hukum terkait.
”Untuk periode 2018, masih ada waktu hingga 31 Maret 2019. Pengisiannya secara online lewat elhkpn.kpk.go.id. Jika ada kesulitan, dapat menghubungi 198. KPK juga melatih dan melakukan bimbingan teknis di berbagai lembaga pusat dan daerah. Masyarakat dapat memantaunya,” ujar Febri.
Secara terpisah, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Mukri menyampaikan, pihaknya melalui Jaksa Muda Pengawasan telah memerintahkan jajaran di pusat dan daerah untuk segera mengisi dan mengirimkan LHKPN periode 2018. Sanksi disiplin akan dijatuhkan kepada jaksa atau pegawai tata usaha di lingkungan kejaksaan.
Pengaruhi produktivitas
Menurut Febri, hal sama terjadi di daerah. Dari 8.900 penyelenggara negara di Kepulauan Riau, ada 3.662 orang yang belum menyerahkan LHKPN. Dari jumlah itu, tingkat kepatuhan penyelenggara negara dari legislatif tercatat yang paling rendah, yakni 13,54 persen. Bahkan, belum seorang pun anggota DPRD Kota Batam serta Kabupaten Lingga dan Natuna membuat LHKPN.
Terkait kewajiban caleg dalam kontestasi mendatang, KPK baru menerima 23 persen LHKPN seluruh caleg peserta Pemilu 2019. Berdasar data dari laman elhkpn.kpk.go.id, hingga kemarin tercatat baru 1.982 orang dari total 8.364 caleg yang menyerahkan LHKPN. Mereka terdiri dari caleg DPR, DPD, dan DPRD.
Mantan Komisioner KPK sekaligus pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji, menyampaikan, rendahnya tingkat kepatuhan pelaporan LHKPN pada lembaga penegak hukum dan lembaga pengawasnya seperti KY dan Komisi Kejaksaan sangat berpengaruh pada pola perilaku, integritas, dan produk penegakan hukumnya.
Hal senada diungkapkan pakar hukum pidana dari Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan. (IAN/E02)