Program Guru Garis Depan Tingkatkan Kecukupan Guru di Daerah Tertinggal
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Program Guru Garis Depan atau GGD yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejauh ini mampu meningkatkan jumlah guru dengan status Pegawai Negeri Sipil di sekolah daerah terdepan, terluar, dan tertinggal atau 3T. Namun, program ini masih menghadapi berbagai kendala seperti masalah birokrasi dan budaya.
Peneliti Article 33 Indonesia Sandy J Maulana mengatakan, program GGD merupakan cara pemerintah pusat untuk memaksa pemerintah daerah (Pemda) memenuhi kebutuhan guru berkualitas di daerah 3T. “Program ini dibutuhkan karena pemenuhan guru berkualitas di daerah 3T tidak dapat diselesaikan dengan rekrutmen biasa,” kata Sandy.
Pernyataan tersebut diungkapkan Sandy dalam diskusi publik bertajuk Pendidikan di Garis Depan yang diselenggarakan oleh Article 33 Indonesia di Jakarta, Rabu (27/3/2019). Ia menjelaskan, Pemda lebih mengutamakan guru lokal yang sudah ada meskipun pada umumnya relatif kurang memadai. Selain itu, tanpa intensif tambahan, Pemda akan sulit mendapatkan guru berkualitas untuk ditempatkan di daerah 3T.
Adapun peran dari Pemda lebih bersifat pada procedural. Sementara itu, pemerintah pusat memberikan insentif bagi GGD berupa tunjangan khusus 3T dan tunjangan profesi, masing-masing sebesar satu kali gaji pokok selama 2 tahun pertama masa penempatan. Tunjangan profesi tetap diberikan walaupun tidak memenuhi ketentuan 24 jam mengajar.
Setelah dua tahun, GGD menjadi PNS Daerah. Selanjutnya, mereka menjadi tanggung jawab dari Pemda sepenuhnya.
Pemerintah pusat memberikan insentif bagi GGD berupa tunjangan khusus 3T dan tunjangan profesi, masing-masing sebesar satu kali gaji pokok selama 2 tahun pertama masa penempatan
Berdasarkan riset yang dilakukan Article 33 Indonesia, program GGD mampu meningkatkan kecukupan guru PNS di sekolah yang berada di daerah 3T. Akan tetapi, sekolah yang paling membutuhkan guru PNS justru tidak mendapatkan alokasi GGD, seperti di Sulawesi.
Secara umum, program GGD mampu meningkatkan rata-rata hasil Ujian Nasional (UN) siswa untuk beberapa mata pelajaran. GGD juga mampu menurunkan ketimpangan nilai UN intrasekolah.
Studi lapangan
Dari hasil studi lapangan yang dilakukan Article 33 Indonesia di Kecamatan Lewatidahu, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur ditemukan persoalan linearitas. GGD tidak cocok dengan formasi yang ada, terutama GGD lajur SM3T (Sarjana Mendidik di daerah Terluar, Terdepan, dan Tertinggal).
Sebagai contoh, PPG (Pendidikan Profesi Guru) Pendidikan Anak Usia Dini ditempatkan di Sekolah Dasar. Meskipun demikian, SM3T tetap mendapat prioritas karena dianggap lebih siap ditempatkan di daerah 3T, meskipun formasi yang sesuai tidak tersedia.
Sandy mengatakan, program GGD mendapat perhatian dari sebagian Pemda karena formasi GGD mengurangi kuota formasi PNS Daerah secara keseluruhan. “GGD yang menjadi PNS Daerah akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) karena tidak diiringi penambahan DAU (Dana Alokasi Umum),” tuturnya.
Program GGD juga berdampak pada guru lokal. Mereka yang telah lama mengajar dianggap kurang terakomodir karena persyaratan administrasi, misalnya minimal IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) minimal 3,00.
Direktur Eksekutif Article 33 Indonesia Santoso mengatakan, pelaksanaan GGD cukup rumit karena berhubungan dengan birokrasi dan budaya setempat. Sebagai contoh, guru beragama muslim kesulitan mencari tempat ibadah di daerah yang mayoritas nasrani. Akibatnya, mereka harus pergi keluar daerah sehari sebelumnya dan mereka pun meninggalkan tugasnya untuk beribadah. Namun, mereka tetap bertahan karena alasan finansial.
Direktur Eksekutif Lembaga Inspirasi Patrya Pratama menceritakan pengalamannya saat menjadi guru dalam program Indonesia Mengajar. Ia mengajar di SD Negeri 002 Tanjung Harapan, Kecamatan Labuangkallo, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur.
Tantangan di sekolah ini, yaitu minimnya guru yakni hanya 7 orang guru dengan 4 di antaranya berstatus honorer yang harus mengajar sekitar 150 siswa. Mereka sering tidak masuk untuk mengajar karena berbagai alasan.
Di daerah ini angka untuk melanjutkan sekolah ke jenjang selanjutnya cukup rendah karena terletak di seberang pulau. Selain itu, keterlibatan orangtua dan masyarakat juga rendah. Infrastruktur di sekolah ini juga terbatas. Tempat juga bukan tempat favorit guru untuk mengajar.
Melalui program Indonesia Mengajar, tantangan yang ada di sekolah tersebut coba diatasi. Namun, pada akhirnya tidak ada perubahan setelah 5 tahun (2010-2015) program Indonesia Mengajar dilaksanakan di sekolah tersebut.
“Hanya advokasi peningkatan pelayanan pendidikan melalui dibukanya SMP satu atap pada 2014 yang bertahan pasca 2015,” ujarnya. Menurut Patrya, program GGD sangat cocok diterapkan di daerah 3T karena GGD sifatnya memaksa pemerintah daerah untuk melaksanakan program tersebut.