Reformasi Struktural Menjadi Kunci Stabilitas Ekonomi
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia berkomitmen mendorong pertumbuhan ekonomi tahun ini. Stabilitas ekonomi makro sepanjang 2019 dapat terwujud apabila proses reformasi pada sejumlah struktur ekonomi di dalam negeri berlangsung mulus.
Hal tersebut disampaikan Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam peluncuran buku Laporan Perekonomian Indonesia 2018 di kompleks perkantoran Bank Indonesia, Jakarta, Rabu (27/3/2019).
Peluncuran itu dihadiri Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, Gubernur BI periode 2013-2018 Agus DW Martowardojo, Gubernur BI periode 1998-2003 Syahril Sabirin, serta Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah.
Perry menuturkan, sejumlah tantangan di antaranya agresivitas kenaikan suku bunga Amerika Serikat (AS), ketegangan perdagangan AS-China, penurunan harga komoditas, serta sejumlah peristiwa geopolitik telah memukul perekonomian negara berkembang.
Tren keluarnya aliran modal asing dari pasar negara berkembang serta tingginya premi risiko pasar keuangan global, lanjut Perry, menghantam stabilitas dari negara-negara berkembang.
”Turki dan Argentina terkena imbas berupa krisis ekonomi dan finansial. Kita patut bersyukur kinerja ekonomi Indonesia cukup baik,” ujarnya.
Sinergi BI dengan Otoritas Jasa Keuangan serta pemerintah dalam menciptakan bauran kebijakan sepanjang tahun lalu mampu mengendalikan laju inflasi di kisaran 3,13 persen dan defisit transaksi berjalan 2,98 persen dari produk domestik bruto (PDB).
”Sejak triwulan IV-2018, aliran modal asing mulai masuk lagi. Bahkan pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,17 persen di sejumlah negara yang sedang resesi adalah capaian yang cukup baik,” ujar Perry.
Sinergi BI dengan Otoritas Jasa Keuangan serta pemerintah dalam menciptakan bauran kebijakan sepanjang tahun lalu mampu mengendalikan laju inflasi di kisaran 3,13 persen dan defisit transaksi berjalan 2,98 persen PDB.
Sepanjang 2019, Perry menegaskan akan mendorong terjadinya reformasi pada empat struktur bidang ekonomi untuk menjaga stabilitas. Keempat struktur ekonomi itu adalah meningkatkan daya saing dan produktivitas, mendorong industrialisasi, pengembangan ekonomi digital, serta inovasi di bidang pembiayaan.
Daya saing dan produktivitas mencakup pengembangan infrastruktur, kapasitas sumber daya manusia, serta perbaikan iklim investasi. Sementara, pola pikir industrialisasi mesti beralih dari ekspor komoditas menjadi ekspor berbasis produk industri.
Selain itu, BI melihat ekonomi keuangan digital akan menjadi bagian dari motor ekonomi Indonesia pada masa mendatang. Hal itu termasuk untuk meningkatkan inklusi keuangan, mengangkat pariwisata, dan mendorong sektor mikro.
Adapun di bidang pembiayaan, BI berjanji memperkuat sinergi terkait dengan bidang pembiayaan melalui mobilisasi simpanan di pasar modal dan instrumen lainnya.
”Tentu saja reformasi secara struktural menjadi kunci. Apabila reformasi berlangsung lancar, stabilitas akan terjaga,” ujar Perry.
Berdasarkan proyeksi BI, pertumbuhan ekonomi tahun ini berada di kisaran 5 persen-5,4 persen. Pertumbuhan itu akan ditunjang tingginya permintaan domestik, baik berupa konsumsi maupun investasi.
Transaksi berjalan
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menilai, sepanjang tahun ini Indonesia masih dihadapkan pada tantangan defisit transaksi berjalan. Jika defisit mampu terjaga di bawah 2,5 persen dari PDB sesuai dengan target BI tahun ini, stabilitas akan semakin tertopang oleh meningkatnya kemampuan pembiayaan.
”Kalau ditelaah, penyebab defisit transaksi berjalan pada 2018 adalah harga komoditas menurun akibat pelemahan ekonomi dunia dan besarnya impor barang modal untuk pembangunan infrastruktur,” ujar Mirza.
Indonesia masih dihadapkan pada tantangan defisit transaksi berjalan. Jika defisit mampu terjaga di bawah 2,5 persen dari PDB sesuai dengan target BI tahun ini, stabilitas akan semakin tertopang oleh meningkatnya kemampuan pembiayaan.
Sebagai solusi defisit transaksi berjalan, BI mengimbau pemerintah dan mendorong swasta untuk menggenjot serta mendiversifikasi ekspor. BI pun berharap porsi impor energi fosil dapat ditekan dan digantikan dengan energi terbarukan, seperti air, bayu (angin), dan surya.
Selain itu, BI mencatat, sepanjang 2018 nilai impor barang terkait dengan infrastruktur Indonesia mencapai 6 miliar dollar AS. Tanpa impor infrastruktur, menurut Mirza, defisit transaksi berjalan hanya sekitar 25 miliar dollar AS atau 2,5 persen dari PDB.
”Jadi, defisit transaksi berjalan tahun lalu membengkak, sebagian disebabkan karena pembangunan infrastruktur. Tapi apabila sudah beroperasi, infrastruktur dapat menstimulus pertumbuhan PDB,” ujar Mirza.