Setelah Kereta MRT Pertama Bergerak
Euforia warga mengiringi beroperasinya kereta MRT. Banyak asa menyertai deru roda kereta di jalur sepanjang 16 kilometer ini. Namun, MRT saja tak bakal bisa menekan kemacetan di Ibu Kota. Masih banyak lagi kerja keras yang mesti dilakukan.
Euforia warga mengiringi beroperasinya moda raya terpadu (MRT). Banyak asa menyertai deru roda kereta di jalur sepanjang 16 kilometer ini. Namun, MRT saja tak bakal bisa menekan kemacetan di Ibu Kota. Masih banyak lagi kerja keras yang mesti dilakukan.
Kerja keras dibutuhkan antara lain untuk mewujudkan kawasan berorientasi transit (transit oriented development/TOD). Koneksi pelbagi pusat kegiatan dengan stasiun MRT diyakini memudahkan pengguna kereta. Harapannya, kian banyak orang tertarik memakai angkutan umum.
Konsultan TOD MRT, Nur Muhammad Gito Wibowo, Selasa (26/3/2019), mengatakan, sesuai dengan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 44 Tahun 2017 tentang Pengembangan Kawasan Berorientasi Transit dan Pergub DKI Jakarta Nomor 140 Tahun 2017, PT MRT sebagai operator utama kawasan TOD.
Kawasan TOD untuk dikelola PT MRT Jakarta ada di koridor MRT Jakarta, yaitu Bundaran HI, Dukuh Atas, Setiabudi, Bendungan Hilir, Istora, Senayan, Blok M, dan Lebak Bulus.
Di Dukuh Atas, misalnya, jalur pejalan kaki, baik di dalam maupun luar gedung, mulai terkoneksi. Pemprov juga menerapkan sistem satu arah (SSA) di Dukuh Bawah untuk konektivitas antara Stasiun KRL Sudirman, halte bus Transjakarta, dan stasiun MRT.
”Di kawasan itu memang belum sempurna penataan jalur pejalan kakinya, terutama koneksi di sisi utara dan selatan sungai. PT MRT Jakarta sedang mengerjakan trotoar supaya orang dari gedung BNI 46 bisa terkoneksi ke Stasiun MRT Dukuh Atas,” ujar Gito.
Di kawasan TOD bakal ada tempat mangkal pengojek daring sehingga tidak menumpuk seperti di depan Stasiun Sudirman saat ini.
Ruang terbuka akan diperbanyak sehingga masyarakat bisa memakai trotoar dan lebih efisien saat berpindah tempat atau moda transportasi.
Selain itu, ada pula gedung yang terhubung langsung dengan stasiun bawah tanah MRT. Gedung yang masih dibangun itu berada di samping Kedutaan Besar Jepang.
Dengan membuat koneksi dengan stasiun MRT, gedung itu mendapatkan insentif berupa kenaikan koefisien luas bangunan (KLB). Gedung ini menjadi salah satu contoh swasta memanfaatkan insentif dari pemerintah melalui MRT.
Di kawasan Blok M, stasiun layang MRT juga terkoneksi langsung dengan Blok M Plaza.
Gito juga mengakui, perlu dibangun komunikasi dengan pemilik ruko, tanah, dan pengusaha untuk menyamakan persepsi. ”Stasiun MRT Fatmawati, misalnya, pada rancangan awal kami koneksikan dengan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati. Namun, karena konsolidasi lahan dan komunikasi dengan pemangku kepentingan sekarang tidak mudah, jadinya konektivitas trotoar belum bagus,” ujarnya.
Insentif
Aturan, baik dari pemerintah pusat maupun Pemprov DKI, harus jelas. Masyarakat yang bersedia ditata sesuai dengan konsep TOD juga perlu mendapatkan insentif, seperti pengurangan pajak atau peningkatan koefisien luas bangunan (KLB).
Kawasan Fatmawati di Jakarta Selatan, misalnya, terdampak pembangunan jalur layang MRT sejak 2014. Hingga kini geliat roda usaha belum sepenuhnya pulih. Sementara konsep penataan kawasan ini pun belum jelas.
Pembebasan lahan yang cukup luas berdampak pada perubahan fisik di sepanjang jalan itu. Banyak tempat usaha rusak, harus mundur beberapa meter dari lokasi semula, bahkan gulung tikar. Namun, selama ini warga belum mendapatkan sosialisasi jelas terkait hak insentif setelah MRT terwujud. Warga hanya kerap dijanjikan harga tanah di sana akan naik.
Padahal, dalam Pengumuman Gubernur Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemberian Insentif kepada Pemilik Tanah yang Terkena Pembebasan Tanah Proyek Mass Rapid Transit (MRT) 01 Sepanjang Jalan Fatmawati, Kota Jakarta Selatan, kawasan itu masuk teknik pengaturan zonasi (TPZ). Artinya, di sana bisa dilakukan perubahan atau penambahan kegiatan dan penambahan luas lantai.
Pihak yang bisa mendapatkan insentif itu adalah pemilik lahan yang terkena pembebasan lahan untuk proyek MRT. Mereka akan diberikan insentif berupa penambahan KLB sebesar 1,5. Namun, informasi tentang insentif ini belum tersosialisasikan dengan baik di lapangan. Masyarakat banyak yang belum tahu insentif yang diberikan pada masa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama itu.
Kepala Bidang Perencanaan dan Pemanfaatan Ruang Kota (PPRK) Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan DKI Jakarta Heru Sunawa mengatakan, di Fatmawati, pemilik lahan yang terkena pembebasan lahan bisa menaikkan KLB secara mandiri. Adapun mereka yang tidak terkena pembebasan lahan, tetapi lokasi rumah atau usahanya ada di pinggir jalan, dapat memanfaatkan transfer development right (TDR).
”Mereka yang mendapatkan kode b di peta Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) bisa menaikkan KLB dengan catatan harus ada kesepakatan dengan warga lain di zona kelurahan yang sama,” kata Heru.
Instrumen parkir
Pembatasan kendaraan pribadi juga menjadi kunci selanjutnya untuk mengurangi kemacetan Jakarta. Tanpa pembatasan kendaraan pribadi, penambahan moda transportasi publik, seperti MRT, tetap sulit untuk mengalihkan pengguna kendaraan pribadi ke transportasi massal umum.
Direktur Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia Yoga Adiwinarto, Jumat (22/3), mengatakan, pembatasan kendaraan pribadi paling mudah dan memungkinkan saat ini adalah pembatasan parkir.
Pemprov DKI Jakarta dapat membuat peraturan rasionalisasi tarif parkir, yaitu dengan menaikkan harga parkir dan membatasi ketersediaan lahan parkir di satu kawasan dengan menawarkan insentif kepada pengelola gedung parkir.
Saat ini, ruang parkir dinilai masih sangat banyak. Di ruas Jalan Jenderal Sudirman-MH Thamrin dari Bundaran Senayan hingga Bundaran Patung Kuda Arjuna Wijaya saja diperkirakan ada 38.000-65.000 ruang parkir mobil.
Sementara kapasitas maksimal ruas jalan itu hanya 4.500 kendaraan per jam. Artinya, dengan jumlah ruang parkir sebanyak itu, arus kendaraan di puncak jam macet diperkirakan 13.000 mobil per jam.
Pemberlakuan jalan berbayar (ERP) dan kebijakan ganjil-genap yang diberlakukan secara kawasan dalam waktu 24 jam juga dipandang efektif mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.
Kampanye tertib
Kampanye perubahan perilaku dan kebiasaan pengguna transportasi massal juga masih perlu ditingkatkan.
Co Founder Transport for Jakarta (TfJakarta) Andriansyah Yasin Sulaiman mengatakan, saat uji coba publik MRT, TfJakarta juga mengamati perilaku buruk warga saat menggunakan transportasi massal. Hujatan dan ejekan di medsos tidak mengubah perilaku itu.
TfJakarta kemudian menggagas kampanye #BerubahBareng untuk menyentil dan menyadarkan warga. ”MRT itu, kan, sesuatu yang baru bagi warga Jakarta. Pasti banyak yang belum pernah mencoba, masih bingung, jadi kami harus memberikan informasi,” ujar Yasin, Selasa (26/3).
Perubahan perilaku itu diharapkan tidak hanya pada saat naik MRT, tetapi juga saat naik bus rapid transit (BRT), KRL, dan transportasi umum lainnya. Masyarakat diharapkan memberikan contoh kepada pengguna lain yang kurang tertib. Caranya dengan mengingatkan langsung dengan cara yang baik. Jika masih ada kesulitan, pengguna dapat meminta bantuan petugas.
Baca juga: Tarif MRT Disepakati