Berhentikan Pengurus Pers Mahasiswa, Rektorat USU Dinilai Langgar Kebebasan Berekspresi
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan/Nikson Sinaga
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan Rektorat Universitas Sumatera Utara memberhentikan semua pengurus pers mahasiswa Suara USU 2019 setelah terbit beberapa cerpen di situs Suarausu.co dinilai melanggar kebebasan berekspresi. Perguruan tinggi yang semestinya menjadi ruang diskursus gagasan dan ide justru melakukan pembungkaman dan kesewenang-wenangan.
Pemberhentian semua pengurus Suara USU 2019, yang berjumlah 18 mahasiswa, berlangsung pada Senin (25/3/2019) setelah Rektor USU Runtung Sitepu dan jajarannya bertemu dengan para pengurus Suara USU 2019 di Ruang Senat Akademik Gedung Biro Rektor USU. Keputusan pencabutan surat keputusan kepengurusan Suara USU 2019 merupakan puncak dari ketidaksepakatan rektorat terkait terbitnya beberapa cerpen di Suarausu.co yang dinilai bermuatan konten pornografi.
”Kebebasan berekspresi di kampus erat kaitannya dengan kebebasan akademik. Ketika kebebasan ekspresi mahasiswa dikekang, sumbangsih akademisi terhadap demokrasi bangsa ini dipertanyakan. Kami menyesalkan sikap reaktif Rektor USU menyikapi terbitnya beberapa cerpen di situs persma Suarausu.co, mulai dari pemanggilan para pengurus persma, mendesak mereka agar tidak mengunggah beberapa artikelnya, hingga memberhentikan semua pengurus Suara USU periode 2019,” ujar Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito Madrim, Rabu (27/3/2019), di Jakarta.
Di Medan, Runtung Sitepu mengatakan, keputusan tersebut diambil melalui pertimbangan matang. Dirinya juga meminta masukan dari ahli bahasa, Kepala Program Studi Sastra Indonesia USU, dan pembina Suara USU.
Dia mengatakan, keputusan tersebut dipilih untuk menjaga nama baik USU dan alumni USU. Tindakan itu bukan merupakan intervensi terhadap pers mahasiswa, melainkan merupakan wewenangnya sebagai rektor.
”Pertimbangan saya mengganti personel UKM (unit kegiatan mahasiswa) Suara USU untuk menegakkan nilai-nilai Kampus USU. Cerpen yang diterbitkan Suara USU itu mengandung unsur pornografi yang bertentangan dengan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dalam bingkai kebinekaan,” kata Runtung.
Dalam pernyataan tertulis pengurus persma Suara USU 2019, mereka dipanggil rektor dua kali, yaitu tanggal 19 Maret 2019 dan 25 Maret 2019. Pemanggilan pertama dilakukan setelah penerbitan cerpen berjudul ”Ketika Semua Menolak Kehadiranku di Dekatnya” di situs Suarausu.co yang dianggap berbau pornografi dan tidak sesuai untuk akademisi. Jika Suara USU tidak segera menarik cerpen tersebut, pihak rektorat akan menarik surat keputusan UKM Suara USU.
Para pengurus persma Suara USU menjelaskan kepada rektor bahwa cerpen tersebut sama sekali tidak bermaksud mengampanyekan orientasi seksual tertentu, tetapi lebih bercerita tentang bagaimana nasib kaum minoritas didiskriminasi oleh publik.
Kritikus sastra Mhd Anggie J Daulay yang juga dosen Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Medan mengungkapkan, tidak ada hal negatif dalam muatan cerpen tersebut dan tidak ada pula makna sugestif atau persuasif di dalamnya. Cerpen tersebut hanya menggambarkan keadaan tokoh pada peradaban masa kini yang mengalami disorientasi seksual.
Setelah pemanggilan tersebut, situs Suarausu.co beberapa hari disuspensi atau dinonaktifkan oleh pihak penyelenggara hosting. Selanjutnya, rektor kembali memanggil pengurus Suara USU.
Saat audiensi, rektor kembali menanyakan perihal beberapa cerpen di Suarausu.co yang menurut dia mengandung unsur LGBT dan pornografi. Menanggapi hal tersebut, semua pengurus Suara USU sepakat bahwa cerpen tersebut tidak merujuk ke arah pornografi.
Di ujung pertemuan itu, rektor mengatakan bahwa semua anggota dan pengurus Suara USU periode 2019 akan dikeluarkan. Anggota Suara USU diberi waktu hingga Kamis (28/3/2019) untuk membereskan sekretariat tanpa membawa atau merusak aset USU.
Menurut Sasmito, tindakan sewenang-wenang melakukan pembungkaman kebebasan demokrasi di kampus seperti ini harus menjadi perhatian serius Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
”Ke depan, Dewan Pers dan berbagai kalangan yang concern dengan perjuangan kebebasan ekspresi dan kebebasan pers perlu memikirkan langkah-langkah advokasi secara bersama-sama untuk memberikan dukungan positif kepada persma. Ini bukan isu yang harus diperjuangkan teman-teman persma saja, tetapi siapa pun harus turut melakukan pembelaan,” ujarnya.
Tindakan inkonstitusional
Ketua AJI Medan Liston Damanik dalam pernyataan tertulisnya juga menilai tindakan Rektor USU sebagai kesewenang-wenangan dan inkonstitusional karena tidak sejalan dengan nilai-nilai demokrasi dan hak kebebasan berekspresi yang dijamin UUD 1945.
Menurut dia, pihak rektorat USU semestinya berpedoman pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi yang mengatur penyelenggaraan universitas dilaksanakan dengan prinsip demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa.
”Kami mengharapkan penonaktifan situs seperti ini tidak terulang kembali dan kami mendesak kepada Dewan Pers turut andil dalam penyelesaian kasus ini mengingat persma termasuk dalam kuadran kedua yang merupakan pengelompokan media yang tidak terverifikasi di Dewan Pers, tetapi isi beritanya memenuhi standar jurnalistik dan Kode Etik Jurnalistik,” katanya.