Deteksi Dini TBC di Rutan Sialang Bungkuk, Pekanbaru
Dinas Kesehatan Riau dan Pekanbaru melakukan screening (deteksi dini) penyakit TBC di Rutan Sialang Bungkuk, Pekanbaru, Kamis (28/3/2019). Sebanyak 40 tahanan dan narapidana yang menjadi tersangka penderita TBC diambil sampel dahaknya.
Oleh
SYAHNAN RANGKUTI
·3 menit baca
PEKANBARU, KOMPAS — Dinas Kesehatan Riau dan Dinas Kesehatan Pekanbaru melakukan screening (deteksi dini) penyakit tuberkulosis atau TBC di Rumah Tahanan Sialang Bungkuk, Pekanbaru, Kamis (28/3/2019). Sebanyak 40 tahanan dan narapidana yang menjadi tersangka penderita TBC diambil sampel dahaknya untuk pemeriksaan laboratorium.
”Yang dikumpulkan hari ini adalah para tahanan dan napi yang menderita batuk, tetapi tidak sembuh lebih dari dua minggu. Kami juga mengajak rekan satu selnya yang kemungkinan tertular,” ujar Ipai, petugas relawan kesehatan warga binaan Rumah Tahanan (Rutan) Sialang Bungkuk, Pekanbaru, yang ditemui di Aula Rutan Sialang Bungkuk pada Kamis pagi.
”Seluruhnya mencapai 40 orang, tetapi pemeriksaan bertahap. Hari ini hanya 10 orang yang diambil sampelnya dan dilanjutkan 10 orang lagi besok dan hari selanjutnya,” ujarnya.
Para tersangka penderita TBC di Rutan Sialang Bungkuk mendapat nasihat medis dari dokter Siska dan dokter Luise yang datang ke lokasi bersama petugas Dinas Kesehatan Riau. Beberapa di antara para tahanan mengaku menderita batuk sampai dua bulan.
Alianda (48), narapidana di Rutan Sialang Bungkuk, mengaku sudah mengalami batuk-batuk lebih dari sebulan. Sampai kemarin, ia belum pernah memeriksakan kesehatannya. ”Saya senang dapat berkonsultasi dengan dokter hari ini. Mudah-mudahan batuk saya sembuh,” kata Alianda.
Terbesar di Pekanbaru
Sekretaris Dinas Kesehatan Pekanbaru Zaini Rizaldi mengungkapkan, sampai 2018, penderita penyakit TBC di Pekanbaru mencapai 4.100 orang. Dari jumlah itu, beberapa di antara mereka merupakan penghuni Rutan Sialang Bungkuk. Di wilayah Provinsi Riau, penderita penyakit TBC terbesar berada di Pekanbaru.
”Dengan niat baik ini, mari kita sama-sama menjaga kesehatan. Penyakit TBC akan merugikan pasien karena sangat mengganggu dirinya dan lingkungan sekitarnya,” ucap Zaini.
M Ridwan yang mewakili Kepala Dinas Kesehatan Riau menyebutkan, secara nasional, jumlah penderita TBC Riau berada di urutan ke-23 dari seluruh provinsi di Indonesia. Penderita diperkirakan mencapai 31.190 orang, tetapi yang sudah rutin berobat hanya sepertiganya.
Dengan niat baik ini, mari kita sama-sama menjaga kesehatan. Penyakit TBC akan merugikan pasien karena sangat mengganggu dirinya dan lingkungan sekitarnya.
”Indonesia adalah negara penderita TBC terbesar nomor tiga di seluruh dunia. Dari seorang penderita dapat menularkan ke 10 orang di sekitarnya. Kita hanya dapat menekannya apabila ada keseriusan dari penderita dan petugas kesehatannya,” kata Ridwan.
Menurut Ridwan, TBC sebenarnya lebih berbahaya daripada HIV atau AIDS. Virus HIV hanya tertular lewat kontak seksual atau transfusi darah. Sebaliknya, bakteri TBC dapat menular lewat udara. Orang yang hidup bersama dalam satu ruangan dengan penderita TBC, seperti di sel rutan, sangat rentan akan penularan.
”TBC dapat diobati dengan keseriusan. Pemerintah sudah menyediakan obat gratis, tetapi bapak-bapak harus teratur memakan obat selama enam bulan. Banyak orang yang putus obat di tengah jalan dan menjadi resisten obat, yang membuat penyakit TBC semakin sulit disembuhkan. Kalau mau berobat teratur dan konsisten selama enam bulan, TBC dapat disembuhkan,” tutur Ridwan.
Apabila pasien tidak teratur memakan obat, lanjutnya, resistensi akan muncul. Ketika pasien ingin berobat, diperlukan waktu lebih panjang sampai setahun. Pasien harus memakan obat selama setahun, ditambah disuntik dengan obat selama enam bulan setiap hari.