JAKARTA, KOMPAS — Nilai total aset industri asuransi jiwa per akhir 2018 yang mencapai Rp 517,91 triliun menunjukkan potensi besar. Namun, hanya 20 persen penduduk Indonesia yang memiliki asuransi jiwa. Karena itu, dibutuhkan berbagai inovasi produk asuransi jiwa untuk meningkatkan jumlah pemegang polis.
Hal ini mengemuka dalam diskusi media Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) di Jakarta, Rabu (27/3/2019). Hadir sebagai pembicara peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia, Febrio Kacaribu, serta Kepala Departemen Keuangan dan Pajak AAJI Simon Imanto.
Febrio mengatakan, perekonomian Indonesia tahun 2018 menempati peringkat ke-16 di dunia dengan nilai total 1 triliun dollar AS. Namun, nilai asuransi dan perbankan hanya membentuk 4 persen dari total perekonomian.
Pertumbuhan ekonomi pun dinilai cukup besar, mencapai 5,17 persen. Sektor asuransi dan keuangan juga tumbuh 12,8 persen pada 2018. Menurut Febrio, pembelian asuransi turut meningkat seiring pertumbuhan ekonomi.
Asuransi jiwa pun membentuk 82 persen dari semua asuransi di Indonesia dengan total aset Rp 517,91 triliun. Sebanyak 20 persen populasi Indonesia telah memiliki asuransi jiwa, naik dari sekitar 18 persen pada 2017.
Faktor lain yang memengaruhi peningkatan jumlah pemegang asuransi jiwa adalah produk unit-link atau asuransi yang dipaketkan dengan investasi bagi pemegang polis. Namun, pencapaian ini dinilai masih rendah.
”Asuransi jiwa masih masih dianggap sangat mewah oleh masyarakat Indonesia. Akhirnya, tidak banyak orang yang sadar pentingnya (asuransi). Bentuk hambatan yang dihadapi industri ini kebanyakan kultural, padahal investasi ini sangat penting untuk keluarga di Indonesia,” kata Febrio.
Saat ini, pengeluaran per kapita Indonesia untuk premi asuransi jiwa sekitar 55 dollar AS, sementara pendapatan per kapita sudah mencapai 3.800 dollar AS. Ia mengatakan, angka ini lebih kecil dibandingkan pengeluaran negara berkembang lain, seperti Malaysia dan India. Namun, ia yakin masih banyak ruang bagi asuransi jiwa untuk tumbuh.
”Kita butuh lebih banyak inovasi lain, seperti yang sudah dilakukan dengan unit-link yang membuat orang berpikir untuk membeli asuransi sambil berinvestasi. Di samping itu, sekarang sudah muncul teknologi finansial yang mendorong investasi di reksa dana, saham, dan tabungan emas. Industri asuransi juga bisa mengarah ke sana,” kata Febrio.
Sementara itu, Simon Imanto mengatakan, saat ini ada 60 perusahaan asuransi jiwa yang beroperasi di Indonesia. Hingga akhir 2018, total pendapatan industri asuransi mencapai Rp 204,89 triliun, turun dari Rp 251,28 triliun pada 2017.
Meski demikian, sejak 2014 hingga 2018, pendapatan industri asuransi jiwa terus naik. ”Total pendapatan naik 5,3 persen dari Rp 166,65 triliun lima tahun yang lalu. Jika kita lihat lebih spesifik, premi baru naik 13,6 persen, premi lanjutan naik 8,1 persen, sedangkan total premi naik 11,4 persen,” tutur Simon.
Sementara itu, premi asuransi unit-link lebih besar daripada premi tradisional selama lima tahun terakhir. Pada 2014, premi unit-link Rp 66,53 triliun, kemudian naik 13,5 persen menjadi Rp 110,27 triliun pada 2018. Adapun premi tradisional naik 8,7 persen dari Rp 54,31 triliun menjadi Rp 75,60 triliun.
Total investasi pun meningkat 9,7 persen, dari Rp 319,32 triliun pada 2014 menjadi Rp 461,81 triliun pada 2018. Simon mengatakan, perusahaan asuransi lebih banyak mengalokasikan asuransi tradisional ke surat berharga negara, sedangkan unit-link lebih banyak diinvestasikan ke reksa dana dan saham.
Saat ini, reksa dana, saham, dan surat berharga negara menjadi tiga instrumen investasi asuransi dengan proporsi terbesar, mencapai 81,1 persen.
”Tantangan yang dihadapi dalam investasi asuransi terletak pada return-nya. Kalau diinvestasikan di obligasi (surat berharga negara), ada withholding tax (pajak oleh pihak ketiga) sebesar 15 persen. Di reksa dana, withholding tax hanya 5 persen. Ini perlu didiskusikan agar ada kesetaraan untuk instrumen investasi asuransi,” kata Simon.